Inovasi dan Strategi Baru dalam Menanggulangi Malaria dan Demam Berdarah di Indonesia dan Malaysia

Malaria dan demam berdarah tetap menjadi momok menakutkan di wilayah tropis, terutama di Indonesia dan Malaysia. Perubahan lingkungan akibat deforestasi dan alih fungsi lahan telah menciptakan sarang baru bagi nyamuk penyebar penyakit ini. Lonjakan kasus demam berdarah di komunitas dekat hutan menjadi bukti nyata. Karena itu, kesiapsiagaan darurat dan sistem pengawasan yang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan, kemajuan teknologi, serta interaksi antara manusia dan satwa liar menjadi sangat penting.

Para ahli dari Pusat Kedokteran Tropis (PKT) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), bersama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) dan Tropical Infectious Diseases Research & Education Centre (TIDREC), Universiti Malaya, mengadakan webinar untuk membahas inovasi dan strategi terkini dalam memerangi malaria dan demam berdarah.

Wakil Dekan FK-KMK UGM menekankan pentingnya kolaborasi lintas negara untuk berbagi pengalaman terbaik dalam pengendalian malaria dan demam berdarah. Webinar ini menjadi wadah untuk memaparkan strategi dan teknologi terbaru dalam mengendalikan penyakit yang ditularkan melalui nyamuk.

Perwakilan WHO Indonesia menyoroti tiga jenis nyamuk berbahaya yang mengancam jiwa manusia, yaitu vektor penyakit bawaan (VBDs), malaria, dan demam berdarah. Nyamuk-nyamuk ini berkembang pesat di wilayah tropis dan subtropis. Malaria menjadi penyebab utama kematian, terutama pada anak-anak. Asia Tenggara menjadi wilayah dengan tingkat penularan malaria tertinggi, dan Indonesia menempati urutan ke-32 di dunia dengan kasus malaria terbanyak.

Di sisi lain, demam berdarah tidak lagi hanya menyerang negara tropis dan subtropis, tetapi sudah menjadi ancaman global akibat penyebaran vektor dan perubahan iklim.

Seorang dosen dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara menjelaskan bahwa malaria dapat dicegah melalui berbagai upaya, seperti penyemprotan insektisida, kemoprofilaksis, diagnosis cepat, pengobatan dengan kombinasi terapi artemisinin (ACT), dan vaksinasi. Tujuan utama pengendalian dan pencegahan malaria adalah mencegah infeksi dan memberikan pengobatan yang tepat bagi mereka yang sudah terinfeksi.

Ia juga menyoroti insiden malaria di Indonesia yang stagnan dalam 10 tahun terakhir dan kasus malaria zoonotik yang ditularkan dari primata non-manusia. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara dalam mencapai target eliminasi malaria pada tahun 2030.

Webinar ini juga membahas inovasi pengendalian demam berdarah melalui penerapan teknologi Wolbachia di Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan potensi Wolbachia sebagai strategi baru dalam menekan penularan demam berdarah di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI telah memperluas implementasi teknologi ini ke lima kota sejak tahun 2023. Selain itu, peserta webinar juga mendapatkan wawasan tentang potensi Streptomyces sebagai bio-insektisida alami dari Universiti Malaya, serta indikasi penularan demam berdarah pada malam hari yang disampaikan oleh perwakilan Kementerian Kesehatan RI.

Scroll to Top