Oktober 2025 ini, layar lebar akan menayangkan kisah dramatis seorang penyintas tunggal kecelakaan pesawat. Namun, tahukah Anda, cerita ini bukan fiksi belaka? Ini adalah pengalaman nyata Annette Herfkens, seorang wanita Belanda yang berhasil selamat dari kecelakaan pesawat di Vietnam pada tahun 1992.
Liburan romantis yang diimpikan Annette bersama tunangannya, Willem van der Pas, terhempas dalam sekejap. Pesawat kecil yang mereka tumpangi tiba-tiba kehilangan kendali saat mendekati Bandara Nha Trang.
"Terdengar suara mesin yang menderu kencang. Pesawat menukik tajam. Jeritan histeris memecah keheningan. Willem menatapku, aku menatapnya. Kami berpegangan tangan erat, lalu semuanya gelap," kenang Annette.
Tragisnya, semua penumpang dan awak pesawat tewas, hanya Annette yang selamat. Wanita yang berprofesi di bidang keuangan ini terbaring tak berdaya di tengah hutan selama delapan hari. Rasa sakit tak tertahankan akibat luka dan patah tulang, dehidrasi hebat, serta kehilangan orang terkasih yang akan dinikahinya menghantuinya.
Penerbangan Terakhir Bersama Sang Kekasih
Annette dan Willem adalah teman dekat sejak kuliah. Hubungan mereka bersemi setelah Willem menantang Annette untuk menciumnya. Sejak saat itu, keduanya tak terpisahkan.
Namun, pekerjaan memaksa mereka untuk menjalin hubungan jarak jauh. Pada tahun 1992, Willem bekerja di Vietnam. Annette memutuskan untuk mengunjunginya, ingin melihat tempat kerjanya dan merencanakan pernikahan mereka.
Namun, Willem memberikan kejutan tak terduga. Pagi itu, ia mengajak Annette naik pesawat kecil, Yak-40 buatan Soviet. Annette yang memiliki fobia ruang sempit sempat menolak.
"Aku tidak mau naik," ujarnya saat melihat pesawat itu.
Namun, Willem memohon padanya. "Tolong, lakukan ini untuk kita."
Willem beralasan bahwa perjalanan darat akan sulit karena hutan yang lebat. Demi cintanya, Annette mengabaikan ketakutan dan firasat buruknya.
Penerbangan singkat yang seharusnya hanya 55 menit berubah menjadi mimpi buruk. Lima menit sebelum mendarat, pesawat kehilangan tenaga dan meluncur turun.
Orang-orang menjerit. Willem menatapnya dengan panik, "Aku tidak suka ini."
Annette berusaha menenangkan, "Ini hanya turbulensi. Pesawat kecil memang sering mengalami penurunan ketinggian seperti ini. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja."
Namun, perkiraannya meleset. Pesawat terjun bebas. Jeritan semakin histeris.
"Dia menatapku, aku menatapnya. Kami berpegangan tangan." Lalu, semua menjadi gelap.
Satu-Satunya yang Selamat
Entah berapa lama Annette pingsan. Ia terbangun di tengah hutan, dikelilingi suara jangkrik dan monyet.
Annette tertimpa kursi dengan penumpang pria yang sudah meninggal.
"Aku mendorong benda berat itu. Tubuh itu jatuh dari kursi."
Di sebelah kirinya, ia melihat Willem masih terikat di kursinya, dengan senyum manis di wajahnya. Namun, nyawanya telah tiada.
Annette tidak mengingat detail kejadian setelahnya. Ia hanya tahu dirinya berada di hutan yang rimbun.
Kaki dan rahangnya patah, 12 tulang pinggulnya hancur, dan salah satu paru-parunya kolaps.
"Aku pasti mengalami syok saat itu."
Pesawat menabrak gunung, kehilangan sayap, menabrak gunung kedua, dan terbalik.
"Aku tidak mengenakan sabuk pengaman. Aku seperti pakaian yang terlempar dalam mesin cuci, melayang dan mendarat di bawah kursi orang yang duduk di seberang lorong."
Di luar pesawat yang hancur, vegetasi tumbuh subur.
"Aku ingat melihat semut merah besar. Ranting, daun, dan kaki telanjangku. Aku bahkan tidak tahu di mana rokku berada."
Ada luka terbuka lebar di kakinya, memperlihatkan tulang. Serangga mengerumuni lukanya.
Kemudian, ia melihat seorang pria Vietnam di sebelah kanannya masih hidup dan bisa berbicara.
"Aku bertanya apakah tim penyelamat akan datang, dan dia menjawab ya, karena dia orang penting. Dia bahkan mengeluarkan celana panjang dari kopernya untukku."
Dengan menahan sakit, Annette memakai celana itu, menyelamatkan kakinya dari serangga.
Saat hari mulai gelap, pria itu semakin lemah. Nyawanya perlahan menghilang, dan akhirnya dia meninggal. Awalnya, Annette masih mendengar rintihan kesakitan. Namun, malam itu, hanya ada suara angin dan hewan hutan.
"Aku benar-benar sendirian."
Si Gadis Penjelajah yang Bertahan Hidup
Annette panik saat menyadari pria Vietnam itu meninggal. Namun, ia tahu harus tenang.
"Aku harus fokus pada napasku. Itu murni insting, tapi sangat membantu."
Dalam kondisi sulit dan tragis itu, Annette berusaha menerima keadaan.
Ia berkata pada dirinya sendiri: "Inilah yang terjadi. Aku tidak berada di pantai bersama tunanganku."
Ia juga membuang kekhawatiran, seperti "bagaimana jika ada harimau?"
Dua hari pertama, ia tetap berada di dekat mayat pria itu agar tidak terlalu kesepian. Seiring waktu, mayat itu berubah, dan Annette memutuskan untuk menjauh.
Ia mengagumi hutan dengan ribuan daun kecil di depannya. Sebagai gadis kota yang bekerja kantoran, Annette menyadari keindahan hutan yang menaunginya.
"Semakin aku fokus pada daun-daun, tetesan air, dan cahaya yang memantul, semakin indah pemandangannya. Aku terpesona. Tapi tentu saja, aku harus bertahan hidup."
Haus tak tertahankan. Saat hujan turun, Annette menjulurkan lidahnya. Namun, itu tidak cukup. Ia menyusun rencana.
Ia memanfaatkan bahan isolasi pesawat, semacam busa, untuk dijadikan mangkuk penampung air hujan.
"Aku merangkak dengan siku, menyeret pinggul dan kaki yang terluka, dan bangkit. Aku meraih busa itu, melemparkannya ke lantai, lalu menjatuhkan diri. Aku sempat pingsan karena kesakitan."
"Ketika bangun, aku berhasil membuat tujuh mangkuk kecil dari busa itu. Aku menyusunnya dan menunggu hujan turun."
Ia berlindung dari dingin dan hujan dengan memanfaatkan barang penumpang lain, seperti ponco.
Saat hujan deras, mangkuk-mangkuk terisi, dan ia bisa menadahkan ponco dan menyesapnya.
"Rasanya seperti sampanye terbaik. Aku sangat bangga pada diriku sendiri. Aku berpikir: ‘Lihat dirimu, gadis penjelajah!’"
"Aku menyadari betapa luar biasanya bisa tetap hidup dan sehat dalam kondisi mengenaskan ini."
Mantra Penyelamat
Dalam situasi itu, ia harus berdamai dan menerima kematian kekasihnya.
"Setiap kali aku memikirkannya, aku melihat cincin kecil seharga 10 euro yang kubeli di Leiden, di tanganku yang bengkak."
"Sejujurnya, aku yakin kami akan menjadi pasangan yang sempurna. Kami adalah sahabat terbaik, belahan jiwaku."
"Dia adalah orang yang menawan, sangat hangat. Tampan, tetapi tidak sombong."
Tiap memikirkan itu, Annette akan menangis dan melemahkan tubuhnya. Ia bertekad untuk hidup. Selama berjam-jam di hutan, ia menciptakan mantra: "Jangan pikirkan Willem."
Ia juga tidak berani menengok ke bangku di mana Willem masih terikat.
"Aku memilih memikirkan keluargaku. Aku memikirkan semua air yang mengalir dari shower mereka dan betapa indahnya mereka bisa minum air sepanjang hari."
Dengan pikiran itu, Annette merasa lebih tenang dan kuat. Ia yakin keluarganya sedang mencarinya.
"Tapi kekurangan makanan dan luka-luka mulai mempengaruhiku. Pada hari keenam, aku hampir terhipnotis. Aku sekarat, tapi dengan cara yang indah dan bahagia."
Ia terus memandangi keindahan hutan dan merasa tubuhnya mengambang, hingga ia melihat pria berpakaian oranye dari sudut matanya.
"Aku mulai berteriak dan itu membawaku kembali terbaring. Aku merasakan sakit yang luar biasa, tetapi aku juga menyadari bahwa aku mendapatkan tiket untuk keluar dari sana."
"Halo. Bisakah Anda membantu saya, tolong?" ucap Annette.
Pria itu hanya menatapnya dan tidak melakukan apa-apa. Kemudian, dia menghilang.
"Aku pikir itu hanya halusinasi, tapi keesokan paginya dia kembali. Aku sangat marah dan mulai mengumpat dalam semua bahasa, dan dia pergi lagi."
Pada hari kedelapan, delapan orang dengan kantong mayat muncul. Mereka datang ke arah Annette.
Misi Penyelamatan Berlangsung
Mereka menyodorkan daftar penumpang, dan Annette menandai namanya. Mereka memberinya minum dan membopongnya ke atas terpal yang diikatkan pada dua tongkat lalu membawa Annette keluar dari hutan.
"Itu adalah kali kedua aku panik. Benar-benar panik. Aku tidak ingin pergi. Aku ingin tetap di sana bersama Willem. Aku ingin tetap dalam kondisi mental yang indah."
Melihat kepanikan itu, tim penyelamat menurunkan Annette dan melepas sepatu mereka. Mereka khawatir langkah kaki bersepatu itu akan menyakitkan Annette.
"Mereka tidak ingin melukaiku. Aku fokus pada mereka. Aku melupakan diriku dan berpikir para pria itu sedang membantuku dan telah melepas sepatu mereka untukku. Aku berterima kasih kepada mereka."
Sebelum dibawa ke rumah sakit, Annette dan tim penyelamat berkemah semalam di tengah hutan. Dengan sakit yang hebat, Annette justru takut ditinggalkan dan meminta ditemani ketika hujan dan masing-masing anggota tim masuk ke tendanya.
"Anehnya, pada hari-hari sebelumnya, saat sendirian, aku tidak takut. Aku meminta mereka untuk tidak masuk ke dalam tenda, agar meninggalkan aku sendirian."
"Mereka sangat baik hati. Mereka menyalakan api unggun dan memberiku lebih banyak nasi dan air."
Ketika tiba di Kota Ho Chi Minh, Annette melihat wajah-wajah familiar.
"Aku melihat sahabatku, Jaime. Aku melihat saudara-saudara tunanganku dan ingin berbicara dengan mereka."
"Aku merasa bertanggung jawab untuk memberi tahu mereka bagaimana saudara mereka meninggal, bahwa dia memiliki senyum di wajahnya dan tidak menderita."
"Kemudian aku melihat ibuku. Aku ingat berkata, ‘Ibu datang ke sini untuk menemuiku?’ dan kemudian aku kehilangan tenaga."
Bunyi alat-alat rumah sakit mulai terdengar. Petugas rumah sakit mulai memasang sesuatu di paru-paru Annette.
"Sungguh, aku hampir mati saat melihatnya."
Kehidupan Setelah Tragedi
Setelah menerima kabar kecelakaan itu, keluarga Annette berusaha realistis dan mengiranya sudah meninggal.
"Mereka merencanakan pemakaman bersama dengan keluarga Willem di Leiden, tempat kami pernah belajar bersama."
Iklan kematian mereka sudah terbit di koran. Ketika Annette pulang, ia disambut surat belasungkawa yang indah.
"Aku masih ingat surat-surat itu."
Hanya Jaime yang yakin Annette masih hidup dan marah pada orang-orang yang membicarakan masa lalu Annette seakan sudah meninggal.
Keyakinan Jaime terbukti benar.
"Ketika aku kembali ke Belanda, rahangku telah dipasang kembali dengan sekrup dan paru-paruku telah dipompa. Pinggulku hanya perlu diam agar bisa menyatu kembali. Mereka sedang merakitku kembali."
"Di kaki, kematian jaringan tubuh akibat infeksi parah adalah masalah yang sangat serius, dan untungnya, dokter Vietnam menghabiskan banyak waktu untuk mengobatinya."
Ia bersyukur karena saat melanjutkan perawatan di Belanda, kakinya mungkin diamputasi jika tidak diobati dengan telaten selama di Vietnam.
Pemakaman Willem menjadi momen mengerikan lain. Keluarganya membawa peti mati ke gereja.
Rasanya seperti hendak melangsungkan pernikahan, tapi pasangannya berupa peti mati.
"Ada peti mati yang menungguku di altar, dan pria yang membawaku mundur beberapa langkah lebih jauh, seperti dalam pernikahan."
Semua teman yang akan diundangnya dalam pernikahan ada di sana. Pidato-pidato indah dan musik yang indah.
Bedanya, setelah upacara itu, Annette mengiringi Willem ke makam dan meninggalkan semua kenangan dan impian mereka terkubur di sana.
Menata Kembali Hidup
Setelah peristiwa itu, Annette merasa hutan menjadi tempat yang aman.
"Dia selalu ada di sana. Kembali tanpa separuh jiwa adalah trauma yang kumiliki."
Annette melewati semua fase duka. Ia banyak menangis dan merindukan kekasihnya. Namun, seiring waktu, Annette mengerti harus beranjak.
"Aku melihat semua kehidupan yang dia lewatkan, semua yang tidak dia lakukan. Dia tidak memiliki anak-anak yang dia inginkan. Dan mungkin kami kehilangan kehidupan bersama yang seharusnya menjadi takdir kami."
Beberapa bulan setelah kecelakaan itu, banyak teman kuliah mereka yang menikah. Annette memutuskan: "Oke, aku tidak akan menikah. Sudah berakhir."
Namun, seorang teman meyakinkannya bahwa ada sosok yang bisa mengobati lukanya: Jaime, rekan kerja yang pergi ke Vietnam untuk mencarinya dan percaya Annette masih hidup ketika tidak ada orang lain yang percaya.
"Aku berpikir mengapa tidak? Kami sangat dekat, dan aku rasa aku memiliki kecenderungan untuk jatuh cinta pada sahabat-sahabatku, seperti yang kulakukan dengan Willem."
Kini, ia dan Jaime memiliki dua anak setelah menikah.
Anak laki-laki mereka, Max, didiagnosis autis saat masih kecil.
"Ketika aku menghadapi berita itu, aku ingat apa yang kupelajari di hutan, yang telah menyelamatkanku."
"Begitu Anda menerima apa yang Anda miliki dan tidak terobsesi dengan apa yang tidak Anda miliki, keindahan akan terungkap."
Sama seperti Annette menerima keadaannya setelah kecelakaan itu. "Aku juga menerima diagnosis anakku. Dan kemudian aku melihat siapa dia sebenarnya: sumber cinta tanpa syarat yang indah."
"Aku mencintai anak-anakku dan tetap memiliki harapan terhadapnya."
"Cinta anak-anak ini yang benar-benar murni yang dia berikan kepadaku dan yang kurasakan terhadapnya."