Ketegangan Nuklir Iran: Secercah Harapan di Tengah Bayang-Bayang Sanksi

Situasi tegang seputar program nuklir Iran menunjukkan sedikit tanda mereda, menjelang tenggat waktu penting pemberlakuan sanksi internasional.

Di forum global Majelis Umum PBB, Presiden Iran Masoud Pezeshkian dengan tegas menyatakan bahwa negaranya tidak memiliki ambisi untuk mengembangkan senjata nuklir. Pernyataan ini disambut baik oleh utusan Amerika Serikat, yang mengindikasikan kesiapan untuk melanjutkan perundingan, meskipun peluang tercapainya kesepakatan masih terlihat kecil.

Presiden Prancis Emmanuel Macron, bersama dengan utusan khusus AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, turut menyampaikan harapan akan adanya terobosan. Keduanya menekankan perlunya tindakan konkret dari Iran, termasuk membuka kembali akses penuh bagi inspektur nuklir PBB dan kembali terlibat dalam perundingan.

Witkoff menyatakan bahwa dialog dengan Iran terus berlangsung, sebagai bagian dari upaya untuk mencari solusi. Namun, ia juga menegaskan bahwa jika perundingan gagal, mekanisme "snapback" yang mengaktifkan kembali sanksi akan diberlakukan.

Diplomasi di Ujung Tanduk

Sebelumnya, perundingan nuklir antara Teheran dan Washington sempat terhenti akibat perbedaan pendapat mengenai isu-isu sensitif, seperti tuntutan agar Iran menghentikan pengayaan uranium di dalam negeri.

Saat ini, di tengah tekanan sanksi yang semakin dekat, negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Jerman (kelompok E3) mempertimbangkan untuk menunda pemulihan sanksi selama enam bulan. Syaratnya, Iran harus memenuhi tuntutan utama, yaitu memberikan akses pengawasan penuh kepada Badan Energi Atom Internasional (IAEA), melaporkan cadangan uranium yang diperkaya, dan kembali berdialog dengan Amerika Serikat.

Macron menekankan bahwa kesepakatan masih mungkin dicapai dalam beberapa jam terakhir dan meminta Iran untuk memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Namun, ia mengakui bahwa Teheran belum memberikan tawaran konkret dalam pertemuan bilateral. Perundingan terbaru antara Iran, E3, dan Uni Eropa juga belum menghasilkan hasil yang memuaskan.

Retorika Moral dan Kecaman

Dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, Presiden Pezeshkian tidak hanya menegaskan komitmen anti-bom nuklir, tetapi juga mengecam Israel dan Amerika Serikat atas serangan udara yang menewaskan banyak warga sipil.

Ia menyebut serangan tersebut sebagai "pengkhianatan besar terhadap diplomasi" dan menegaskan bahwa program nuklir Iran sepenuhnya bertujuan damai. Pezeshkian juga merujuk pada fatwa Ayatollah Ali Khamenei yang melarang senjata nuklir.

Kemelut Diplomasi dan JCPOA

Ketegangan yang meningkat berakar pada keputusan Presiden Trump pada 2018 untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA) dan memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran. Teheran merespons dengan meningkatkan aktivitas nuklirnya.

Pezeshkian menyalahkan Eropa karena tidak berdaya melawan tekanan AS dan mengkritik UE karena dianggap turut meruntuhkan JCPOA. Ia menganggap upaya tulus Iran dalam perjanjian tersebut dicemooh, sehingga menghancurkan JCPOA yang dulunya dianggap sebagai pencapaian tertinggi diplomasi.

Hari Penentuan Sanksi

Tenggat waktu yang ditetapkan oleh E3 akan berakhir dalam beberapa hari. Jika tidak ada kesepakatan, mekanisme "snapback" akan diaktifkan, memulihkan sanksi ekonomi dan militer PBB terhadap Iran.

Sanksi ini mencakup embargo senjata, larangan pengolahan dan pengayaan uranium, pembekuan aset global, dan larangan perjalanan bagi individu dan entitas Iran.

Kondisi ekonomi Iran yang sudah terpuruk dikhawatirkan akan semakin memburuk. Meskipun demikian, Iran menegaskan bahwa negosiasi tidak akan dilakukan di bawah ancaman, menunjukkan jurang kepercayaan yang masih besar.

Witkoff menekankan bahwa AS tidak berniat menyakiti Iran, tetapi jika tidak ada jalan keluar, "snapback" adalah konsekuensi yang tak terhindarkan.

Scroll to Top