Wacana impor minyak bumi terpusat melalui Pertamina menuai pro dan kontra. Benarkah ini langkah monopoli, atau justru strategi penting untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional? Kelangkaan di SPBU swasta tak bisa serta merta dijadikan bukti tuduhan monopoli.
Peraturan Presiden No. 191/2014 menegaskan, setiap badan usaha berhak melakukan impor minyak bumi asalkan memenuhi persyaratan dari Kementerian ESDM dan Kementerian Perdagangan. Lantas, mengapa isu monopoli mengemuka?
Penting untuk memahami dinamika impor dengan data dan fakta. Apakah pemerintah membatasi hak swasta, ataukah sedang berupaya menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan? Dalam kebijakan publik, pemerintah berperan sebagai stabilisator. Regulasi dibuat untuk menyeimbangkan kebutuhan masyarakat dengan keberlanjutan ekonomi. Membuka keran impor tanpa kendali berpotensi memperburuk defisit perdagangan, menguras devisa, dan melemahkan ekonomi.
Kebijakan impor harus terukur dan teknokratik, bukan sekadar populis. Menganggap impor melalui Pertamina sebagai monopoli, sesungguhnya adalah memahami fungsinya sebagai instrumen stabilisasi.
Minyak Bumi dan Geopolitik
Minyak bumi bukan sekadar komoditas konsumsi. Indonesia, sebagai negara dengan populasi besar dan status importir minyak, memerlukan pengaturan konsumsi yang presisi. Ketergantungan berlebihan mengancam kemandirian dan kedaulatan. Minyak masih memegang peran penting dalam bauran energi nasional.
Produksi nasional yang belum mencukupi menciptakan celah besar antara konsumsi dan produksi. Kondisi ini memunculkan pertanyaan: apakah solusi terbaik adalah membuka keran impor selebar-lebarnya?
Persaingan sehat dalam rezim ekonomi terbuka tetap dijamin. Swasta tetap berhak menjalankan usaha hilir. Namun, pemerintah tetap harus memegang kendali. Minyak sebagai komoditas strategis perlu dijaga standar, mutu, dan harganya.
Menyerahkan pemenuhan konsumsi sepenuhnya pada mekanisme pasar mengandung risiko besar. Impor tanpa kendali dapat menguras devisa dan melemahkan ketahanan ekonomi. Lebih jauh lagi, liberalisasi impor berlebihan meningkatkan risiko geopolitik. Konflik internasional dapat mengguncang stabilitas energi.
Kepercayaan pada Pemerintah
Situasi global yang tidak stabil menuntut impor minyak bumi tidak hanya dilihat dari sudut pandang ekonomi. Ini adalah integrasi kebijakan publik. Memberikan mandat kepada Pertamina adalah langkah mitigasi agar kendali strategis negara tetap terarah. Pertamina harus bekerja secara transparan dan akuntabel.
Swasta tetap mendapat kuota impor. Hanya saja, serapan publik yang tinggi menyebabkan kuota cepat habis. Kasus dugaan penyimpangan minyak oplosan memang sempat menurunkan kepercayaan publik. Namun, menjadikan hal tersebut alasan untuk menolak seluruh peran Pertamina adalah tindakan yang kurang bijak.
Krisis kepercayaan adalah satu hal, liberalisasi impor adalah hal lain. Pemerintah perlu diberi kesempatan untuk membuktikan kinerjanya. Publik berhak mengawasi, namun dengan pikiran jernih dan konstruktif.