Asosiasi Blockchain dan Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo-ABI) mengusulkan agar aset kripto diakui sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Usulan ini menjadi bagian dari tiga poin penting yang disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Revisi UU P2SK bersama Komisi XI DPR RI.
Yudhono Rawis, Wakil Ketua Umum Aspakrindo-ABI, menyoroti potensi besar transaksi kripto di kalangan masyarakat Indonesia. Ia mengungkapkan adanya selisih sekitar US$115 miliar atau setara dengan Rp2.000 triliun yang tidak tercatat dalam bursa (exchange) di dalam negeri.
Yudhono mencontohkan langkah Amerika Serikat yang baru saja melegalkan aturan terkait stable coin, memungkinkan penggunaannya dalam transaksi sehari-hari. Ia berpendapat bahwa Indonesia perlu mengembangkan inovasi serupa agar tidak ketinggalan dalam perkembangan teknologi.
"Produk kripto di Indonesia masih sangat terbatas, begitu pula dengan inovasinya. Hal ini mendorong masyarakat untuk menggunakan bursa di luar negeri yang menawarkan fitur lengkap, termasuk pembayaran. Inilah yang menyebabkan kita tertinggal," jelas Yudhono.
Selain itu, Yudhono juga menyoroti maraknya bursa ilegal yang beroperasi di Indonesia. Ia menekankan perlunya tindakan tegas berupa pemblokiran akses dan penerapan sanksi pidana terhadap aktivitas perdagangan kripto tanpa izin.
Isu perpajakan aset kripto juga menjadi perhatian Yudhono. Saat ini, transaksi penjualan aset kripto dikenakan pajak final sebesar 0,21%. Namun, karakteristik pasar kripto yang global dan tanpa batas membuat banyak pengguna memilih untuk bertransaksi di bursa luar negeri atau decentralized exchange demi menghindari kewajiban pajak.
"Pengguna yang ingin membeli Bitcoin dapat dengan mudah memilih bursa di luar negeri atau decentralized exchange. Sayangnya, banyak yang memilih opsi ini untuk menghindari pajak dan langsung mengakses bursa global atau decentralized exchange," ungkapnya.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), volume transaksi dan jumlah pengguna aset kripto di Indonesia mencapai Rp276,45 triliun per Juli 2025, dengan 16,5 juta investor yang terlibat.