Kasus keracunan massal yang diduga akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kecamatan Cipongkor, Bandung Barat, telah mencapai titik mengkhawatirkan. Lebih dari 1.000 siswa dilaporkan mengalami berbagai gejala seperti sesak napas, sakit perut, pusing, dan mual, mendorong pemerintah daerah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).
Beberapa siswa bahkan harus kembali dirawat di posko kesehatan setelah sempat dipulangkan, menunjukkan kondisi mereka belum sepenuhnya pulih. Neng Nesa Agustin, misalnya, masih merasakan sesak napas dan mual meski sempat menjalani perawatan intensif. Ayahnya, Agus, menceritakan bagaimana putrinya mengalami kejang-kejang dan kesulitan bernapas setelah mengonsumsi MBG.
Para orang tua korban mengungkapkan kekecewaan dan ketakutan mereka. Meskipun awalnya menyambut baik program MBG, mereka kini mendesak agar program tersebut dihentikan dan diganti dengan pemberian uang tunai kepada orang tua agar dapat menyiapkan makanan sendiri untuk anak-anak mereka.
Kepala Puskesmas Cipongkor, Yuyun Sarihotima, menjelaskan bahwa gejala yang dialami para korban berbeda dari kasus keracunan pada umumnya. Selain gejala umum seperti mual dan sakit perut, banyak korban juga mengalami sesak napas tanpa disertai diare.
Penyebab keracunan massal ini diduga karena kesalahan teknis dalam proses memasak dan penyimpanan makanan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Makanan yang dimasak terlalu awal dan disimpan terlalu lama sebelum didistribusikan berpotensi menyebabkan kontaminasi. Akibatnya, SPPG di Cipongkor untuk sementara dihentikan operasionalnya.
Insiden serupa juga terjadi di daerah lain, seperti Kecamatan Cihampelas, Mamuju, dan Ketapang. Di Ketapang, bahkan ditemukan menu ikan hiu goreng dalam program MBG, yang menunjukkan kurangnya pengawasan dan ketelitian dalam pemilihan menu.
Data menunjukkan bahwa kasus keracunan MBG bukan hanya terjadi di Bandung Barat. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat ribuan anak menjadi korban keracunan akibat program ini. Mereka mendesak pemerintah untuk segera menetapkan status KLB dan menghentikan sementara program MBG untuk dilakukan evaluasi menyeluruh.
Terungkap pula bahwa hanya sebagian kecil dari dapur MBG yang memiliki sertifikat kebersihan dan SOP keamanan pangan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan standar kualitas dalam pelaksanaan program MBG.
Para ahli kesehatan masyarakat menekankan pentingnya sertifikasi dan pengawasan yang ketat dalam seluruh rantai pasok makanan, mulai dari produksi bahan mentah hingga penyajian makanan. Mereka juga mengusulkan investigasi mendalam untuk mengungkap penyebab pasti keracunan dan mencegah kejadian serupa di masa depan.
Meskipun banyak pihak mendesak agar program MBG dihentikan sementara, pemerintah belum memberikan sinyal akan melakukan hal tersebut. Menteri Koordinator bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, menyatakan bahwa program ini perlu dievaluasi, namun belum ada rencana untuk menghentikannya.
Anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan, Charles Honoris, mengusulkan agar dana MBG disalurkan langsung ke orang tua siswa agar dapat memasak makanan yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak mereka. Usulan ini muncul di tengah kekhawatiran dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kualitas dan keamanan makanan yang disediakan dalam program MBG.