Diabetes di Indonesia: Saatnya Lirik Potensi Filantropi Lokal

Kasus diabetes di Indonesia terus melonjak, membebani sistem kesehatan dan menguras anggaran. Tahun 2024, diperkirakan ada 20,4 juta orang hidup dengan diabetes. Biaya yang dikeluarkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk penyakit ini pun tidak sedikit, mencapai Rp9,4 triliun pada 2022.

Lonjakan kasus ini sebagian besar disebabkan oleh deteksi dini yang kurang optimal, manajemen penyakit yang belum efektif, dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan. Kesenjangan layanan antara kota dan desa juga memperparah keadaan.

Selama ini, pemerintah telah bekerja sama dengan lembaga filantropi asing untuk mengatasi masalah ini, seperti World Diabetes Foundation (WDF) dan Novo Nordisk melalui program Changing Diabetes in Children (CDiC). Program-program ini berperan penting dalam menyediakan obat-obatan dan alat kesehatan, serta memperkuat layanan kesehatan primer.

Namun, bantuan dari luar saja belum cukup. Pemerintah perlu mencari sumber pendanaan lain, termasuk memaksimalkan potensi besar dari filantropi lokal.

Indonesia dikenal sebagai negara yang dermawan. Selama lima tahun berturut-turut (2017-2022) selalu menduduki peringkat teratas dalam Indeks Kedermawanan Dunia. Pada 2024, Indonesia kembali menjadi yang teratas dalam hal berdonasi dan menjadi relawan. Kesadaran filantropi yang tinggi ini didorong oleh nilai-nilai agama dan tradisi berbagi.

Hal ini tercermin dari tingginya jumlah zakat, infak, sedekah, serta dana sosial keagamaan lain (ZIS-DSKL) yang dikelola oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), mencapai Rp40,5 triliun pada 2024.

Dana filantropi lokal ini memiliki potensi besar untuk mendukung layanan diabetes, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh negara. Lembaga seperti Dompet Dhuafa telah memiliki program yang menyalurkan dana bantuan untuk pasien dengan penyakit kronis, termasuk diabetes. Melalui Gerai Sehat, mereka menyediakan fasilitas kesehatan primer dan layanan medis bagi pasien diabetes. Unit Respon Darurat Kesehatan (RDK) juga memberikan bantuan kepada pasien yang membutuhkan pertolongan mendesak, seperti layanan homecare dan ambulans.

Agar dana filantropi dapat digunakan secara efektif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Fokus pada Daerah Terpencil: Program filantropi harus selaras dengan prioritas Kementerian Kesehatan, seperti penguatan fasilitas kesehatan primer dan pencegahan komplikasi diabetes. Pemetaan epidemiologi juga penting untuk memastikan program tepat sasaran.

  2. Regulasi dan Tata Kelola yang Baik: Pemerintah perlu memastikan dana filantropi digunakan seefisien mungkin dengan kerangka regulasi yang kuat, insentif pajak, dan mekanisme tata kelola yang efektif.

  3. Kolaborasi dengan Komunitas Lokal: Pemerintah perlu bekerja sama dengan universitas dan organisasi keagamaan untuk memperluas jangkauan dan efektivitas program.

  4. Insentif Pajak untuk Donatur: Pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang berkontribusi dalam program diabetes, sehingga mendorong partisipasi lebih banyak filantropis lokal.

Filantropi bukan hanya pelengkap, tetapi pilar penting dalam penanganan diabetes di Indonesia. Dengan pendekatan berbasis bukti, tata kelola yang baik, dan kolaborasi strategis, program filantropi dapat membantu mengatasi ketimpangan akses dan mengurangi beban ekonomi akibat diabetes di masa depan.

Scroll to Top