Film "The Ugly Stepsister" (2025) bukan sekadar adaptasi dongeng Cinderella biasa. Film ini menghadirkan kritik pedas terhadap standar kecantikan yang sering kali menyesakkan kaum perempuan.
Bayangkan adegan Elvira, diperankan oleh Clara Rugaard, duduk gelisah di depan cermin. Di dekatnya, Rebekka, ibu tiri yang diperankan Anna-Maria Otte, dengan ambisi dan perfeksionisme, mengawasi. Kalimat dinginnya, "Jangan biarkan satu lekuk pun salah, atau dunia tidak akan memaafkanmu," menciptakan atmosfer yang mencekam.
Ketegangan bukan hanya tentang sepatu kaca yang sempit, tetapi juga tentang harga diri yang tertekan. Setiap kali Elvira mencoba memasukkan kakinya ke dalam sepatu itu, rasa percaya dirinya ikut terluka.
Film debut sutradara Emilie Blichfeldt ini terasa segar dan menyakitkan. Alih-alih mengolok-olok "saudara tiri", film ini justru menyoroti tokoh yang selama ini dianggap jelek (ugly).
Semakin dalam kita menonton, semakin jelas bahwa "kejelekan" itu adalah hasil dari ekspektasi sosial, standar kecantikan, dan tekanan keluarga. Film ini berani menyampaikan pesan bahwa tokoh yang kita anggap antagonis mungkin saja adalah cermin paling jujur dari sistem yang menindas.
Saudara Tiri sebagai Korban "Ilusi Kesempurnaan"
Blichfeldt seolah sengaja mengacaukan imajinasi kita tentang dongeng. Cinderella, yang biasanya digambarkan cantik dan baik hati, tidak lagi menjadi fokus utama. Kamera justru mengikuti Elvira, anak kandung Rebekka, yang dalam versi klasik digambarkan sebagai antagonis.
Simpati penonton justru diarahkan kepadanya. Cinderella ditampilkan sebagai sosok "sempurna", ideal dan tanpa cela. Namun, kesempurnaan ini sulit diraih, dan Elvira selalu merasa kurang, sekeras apa pun usahanya.
Teori Naomi Wolf dalam buku "The Beauty Myth" (1990) menjadi relevan di sini. Kecantikan bukanlah sekadar selera pribadi, tetapi sebuah "mitos" yang membuat perempuan terus merasa tidak cukup: kurang langsing, kurang muda, kurang glowing.
Elvira menjadi wujud nyata dari korban mitos tersebut. Sepatu kaca, yang seharusnya membawa kebahagiaan, justru menjadi alat penyiksaan. Simbol aturan mustahil yang harus dipenuhi.
Pesan sutradara jelas: perempuan yang gagal memenuhi standar kesempurnaan akan dianggap gagal total.
Tirani Citra Tubuh yang Semakin Kejam
Wolf memperkenalkan istilah "tirani citra tubuh" pada tahun 1990-an. "The Ugly Stepsister" menunjukkan bahwa tirani ini tidak hanya relevan, tetapi semakin kejam.
Tekanan untuk tampil sempurna kini diperkuat oleh media sosial, filter wajah, algoritma yang memoles kulit, dan merek yang menjual rasa insecure sebagai gaya hidup.
Adegan Elvira memaksa kakinya masuk ke sepatu kaca mencerminkan realitas saat ini. Banyak orang meyakini bahwa tanpa hidung mancung atau kulit putih, hidup mereka tidak sah sebagai perempuan.
Standar kecantikan yang kaku bukanlah hal baru. Abad ke-19 penuh dengan aturan yang membelenggu tubuh perempuan: korset yang menyesakkan, kulit pucat sebagai tanda kelas atas, dan rambut yang wajib disanggul rapi. Semua ini bukan sekadar gaya, tetapi cara untuk menandai siapa yang dianggap beradab.
Fenomena ini dijelaskan oleh Nancy L. Green, bahwa industri pakaian membuat standar tubuh dan mode menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas. Tekanan untuk tampil sempurna tidak lagi hanya milik elite, tetapi menjadi mekanisme industri yang merata ke bawah.
Apa yang dialami Elvira bukan sekadar persoalan cantik atau tidak cantik, tetapi bagaimana industri mode dan norma sosial menjadikan tubuh perempuan sebagai proyek publik yang harus seragam dan sesuai dengan "cetakan".
Perempuan Dipaksa Merasa Kurang
Feminisme seperti Sandra Lee Bartky menyebut bahwa tubuh perempuan dilatih untuk selalu merasa kurang dan harus terus "diperbaiki". Perempuan "didisiplinkan" melalui cara-cara kecil namun konsisten, seperti cara duduk yang harus rapat, cara tertawa yang tidak boleh keras, dan gaya jalan yang anggun.
Elvira terjebak dalam standar ini. Ia bukan hanya dipaksa oleh ibunya, tetapi juga telah percaya bahwa dirinya memang salah, gagal, dan "tidak cukup sempurna".
Film ini juga menyoroti Rebekka, ibu Elvira, sebagai korban. Senyum dinginnya penuh dengan ketakutan: takut anaknya gagal, takut dirinya jatuh, takut kehilangan posisi sosial.
Mitos kecantikan tidak hanya menindas perempuan secara kolektif, tetapi juga memenjarakan mereka yang tampak "berkuasa".
Penindasan tidak hanya datang dari struktur sosial, tetapi juga dari orang terdekat: ibu, saudara, bahkan diri sendiri. Rasa sakit Elvira lahir bukan hanya dari makian ibunya, tetapi juga dari struktur yang membuat sang ibu merasa perlu memaki.
Kritik yang Lebih Gelap
Pendekatan Blichfeldt berbeda dengan film lain yang membahas standar kecantikan. "Black Swan" (2010) menggunakan nuansa horor-psikologis, sementara "The Ugly Stepsister" lebih ke simbolisme dongeng yang "dipelintir".
Dibandingkan dengan "The Devil Wears Prada" (2006), "The Ugly Stepsister" lebih fokus pada akar masalah: bukan sekadar bos galak, tetapi sistem sosial yang menormalisasi kekejaman.
Jika dulu kita bersorak saat sepatu kaca pas di kaki Cinderella, kali ini kita meringis melihat sepatu itu gagal masuk ke kaki Elvira.
Kita Semua Adalah Elvira
Sutradara ingin menunjukkan bahwa tokoh "jahat" perempuan sering kali hanyalah produk dari tekanan sosial. Blichfeldt tidak sekadar membuat ulang dongeng Cinderella, tetapi memaksa penonton melihat siapa yang sesungguhnya terjebak di balik kaca sepatu.
"The Ugly Stepsister" menjelma menjadi cermin bagi kita semua yang hidup dalam dunia penuh standar. Kita semua seperti Elvira: berusaha masuk ke sepatu yang tidak pernah pas. Dan kadang, seperti Rebekka: pura-pura kuat, padahal diam-diam ketakutan.
Tatapan Kosong yang Menggetarkan
Film ditutup dengan adegan kunci: Elvira duduk sendirian di ruang rias, sepatu kaca tergeletak, dan bercak darah menodai lantai.
Kamera berhenti lama di wajahnya. Matanya basah, tetapi tatapannya kosong. Tidak ada musik dramatis, apalagi kemunculan Cinderella yang datang menolong. Hanya keheningan.
Adegan sunyi ini seperti pernyataan paling keras dari Blichfeldt: dongeng tidak selalu selesai dengan bahagia. Dan justru di situlah refleksi terdalam bisa lahir.
"The Ugly Stepsister" mengajarkan kita bahwa dongeng bisa menjadi alat kritik sosial yang tajam. Elvira bukan antagonis yang dibuat hanya untuk ditertawakan, melainkan tokoh yang menuntut empati.
Seberapa sering kita memaksakan sepatu kaca itu masuk kepada orang lain—atau kepada diri kita sendiri?