Nilai tukar Rupiah yang terus melemah terhadap Dolar AS hingga menembus Rp 16.700 pada pekan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha. Kenaikan harga barang dan jasa menjadi ancaman nyata akibat membengkaknya biaya bahan baku dan barang modal impor.
Meskipun Rupiah sempat menunjukkan penguatan tipis di akhir perdagangan Jumat (26 September 2025) ke level Rp16.725/US$, namun tren pelemahan selama enam hari berturut-turut tetap menjadi perhatian serius.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Carmelita Hartoto, menekankan bahwa fluktuasi Rupiah adalah isu krusial yang terus dipantau. Jika tekanan semakin parah, dampaknya akan langsung terasa pada harga jual komoditas dan jasa.
"Pemerintah dan Bank Indonesia diharapkan segera mengambil langkah-langkah pengendalian nilai Rupiah terhadap mata uang asing," ujar Carmelita.
Carmelita mencontohkan, sektor pelayaran yang sangat bergantung pada impor suku cadang akan sangat terpukul. Pelemahan Rupiah secara otomatis meningkatkan biaya modal, yang pada akhirnya akan mendongkrak tarif pengangkutan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaja Kamdani, menambahkan bahwa 70-90% bahan baku manufaktur masih diimpor, dan komponen ini menyumbang 55% dari struktur biaya industri.
"Pelemahan Rupiah akan segera tercermin dalam kenaikan biaya produksi dan berpotensi menurunkan daya saing produk nasional," tegas Shinta.
Industri tekstil, misalnya, sangat bergantung pada impor bahan baku seperti mono etilen glikol (MEG), kapas, benang filamen, dan serat sintetis. Perusahaan di sektor ini menghadapi tekanan biaya yang signifikan, dan tidak semuanya mampu mengalihkan beban tersebut ke konsumen.
Lebih lanjut, Shinta menyoroti ketidakpastian yang disebabkan oleh volatilitas kurs. Fluktuasi yang terlalu tinggi menyulitkan pengusaha dalam menyusun perencanaan biaya, mengatur arus kas, dan menjaga daya saing ekspor.
Meskipun beberapa sektor, seperti eksportir komoditas pertambangan dan kehutanan, mungkin merasakan keuntungan jangka pendek, manfaat ini terbatas karena banyak eksportir manufaktur tetap tertekan akibat tingginya impor komponen dan bahan baku.
Depresiasi Rupiah seringkali lebih banyak menggerus margin daripada memberikan keuntungan tambahan. Bagi UMKM yang sangat sensitif terhadap fluktuasi biaya input, tekanan ini terasa lebih berat karena ruang efisiensi yang mereka miliki terbatas.
APINDO menekankan pentingnya sinergi kebijakan moneter, fiskal, dan perdagangan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan meminimalkan dampaknya terhadap masyarakat dan dunia usaha.
Beberapa catatan yang didorong APINDO antara lain:
- Perbaikan fundamental ekonomi Indonesia.
- Menyeimbangkan kepentingan ekspor dengan perlindungan konsumsi domestik.
- Mendorong diversifikasi sumber bahan baku dengan substitusi produk lokal.
- Menguatkan koordinasi stabilitas harga dan daya beli.
- Mengoptimalkan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dengan insentif yang menarik.
Bagi kalangan pengusaha, stabilisasi nilai tukar memerlukan strategi jangka menengah yang komprehensif, karena stabilitas Rupiah adalah prasyarat fundamental bagi keberlanjutan usaha, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi nasional.
"Dunia usaha siap berkolaborasi, namun kepastian kebijakan dan arah makro yang kredibel menjadi kunci menjaga optimisme dan daya saing Indonesia di tengah gejolak global," pungkas Shinta.