Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyoroti tingginya biaya regulasi yang dikenakan kepada operator telekomunikasi di Indonesia. Biaya ini dinilai dapat menghambat perkembangan jaringan 5G di tanah air.
Ketua Umum ATSI, Dian Siswarini, mengungkapkan bahwa biaya regulasi di Indonesia mencapai 12%-40% dari total pertumbuhan pendapatan operator. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain. ATSI mendesak agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap biaya regulasi demi menciptakan industri yang lebih sehat dan berkembang. Dengan demikian, perusahaan dapat meningkatkan pendapatan, negara memperoleh pajak, dan kualitas layanan internet menjadi lebih baik.
Dian menyoroti kecepatan internet di Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan negara tetangga. Ia meminta pemerintah untuk mengkaji ulang biaya regulasi, terutama untuk pengembangan jaringan 5G. Operator tidak akan mampu mengembangkan jaringan 5G jika formula biaya yang digunakan masih sama seperti saat ini.
Kebutuhan bandwidth untuk 5G jauh lebih besar dibandingkan 4G, minimal 50 Mhz. Jika formula biaya yang sama diterapkan, bisnis 5G mungkin tidak akan menguntungkan bagi operator. Padahal, pengembangan 5G di Indonesia sudah tertinggal dari negara lain, dengan cakupan yang masih terbatas di beberapa kota dan titik tertentu.
ATSI mengusulkan agar pemerintah menerapkan biaya yang adil dan tidak hanya membebankan kepada operator telekomunikasi. Pemain lain yang mendapatkan manfaat terbesar dari ekosistem ini, seperti platform over-the-top (OTT), juga perlu dikenakan biaya. Dengan demikian, pemerintah dapat memperoleh pengganti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berkurang dari biaya regulasi operator.
Prinsip keadilan perlu diterapkan, di mana biaya dikenakan sesuai dengan manfaat yang diterima. "Same service, same rule," demikian Dian menegaskan pentingnya kesetaraan dalam regulasi.