Negara-negara besar seperti anggota G7 dan negara Eropa lainnya telah ramai mengakui Negara Palestina menjelang Sidang Umum PBB. Namun, Jepang, yang juga merupakan anggota G7, masih belum menunjukkan tanda-tanda akan mengikuti jejak tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah keengganan Jepang ini disebabkan oleh tekanan dari Israel ataukah ada faktor lain yang lebih kompleks?
Israel dan Amerika Serikat memang dikenal aktif melobi banyak negara untuk tidak mengakui Negara Palestina. Keduanya bahkan menunjukkan kekecewaan ketika sejumlah negara Barat memutuskan untuk mengakui Palestina.
Jepang sendiri, menurut laporan yang beredar, menghadapi dua tekanan yang berbeda. Di satu sisi, AS menekan Tokyo untuk tidak mengakui Negara Palestina. Di sisi lain, Prancis mendorong Tokyo untuk melakukan sebaliknya.
Pejabat tinggi Jepang menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas situasi di Gaza, yang berpotensi menggagalkan solusi dua negara. Jepang juga mendesak Israel untuk mengambil langkah konkret dalam mengatasi krisis kemanusiaan yang semakin memburuk. Bahkan, Jepang turut mendukung resolusi PBB yang menekankan pentingnya langkah nyata menuju solusi dua negara.
Seorang tokoh politik Jepang pernah menyatakan bahwa pengakuan Palestina sebagai negara bukanlah pertanyaan "jika", melainkan "kapan".
Analisis Pertimbangan Jepang
Menyatakan bahwa Jepang takut pada Israel adalah penyederhanaan yang berlebihan. Berikut adalah beberapa pertimbangan utama Jepang dalam isu Israel-Palestina:
Keamanan dan Aliansi dengan AS: Jepang memiliki aliansi yang kuat dengan AS, yang mempengaruhi kebijakan luar negerinya, terutama di Timur Tengah. Tekanan diplomatik dari AS agar Jepang menahan diri dalam pengakuan Negara Palestina merupakan faktor penting.
Risiko Diplomatik dan Reaksi Israel: Jepang khawatir bahwa pengakuan sepihak terhadap Negara Palestina dapat memicu reaksi negatif dari Israel, yang dapat merusak hubungan bilateral di berbagai bidang, seperti ekonomi, teknologi, dan keamanan.
Kepentingan Ekonomi dan Pasokan Energi: Jepang sangat bergantung pada impor energi dari Timur Tengah. Hubungan baik dengan negara-negara Arab dan komunitas Muslim penting untuk menjaga stabilitas pasokan minyak dan gas, serta kerjasama perdagangan.
Legalitas Internasional dan Standar Diplomatik: Jepang selalu menekankan pentingnya resolusi PBB, hukum internasional, dan negosiasi dalam perubahan status suatu negara. Pengakuan sebelum adanya "asal-usul pemerintahan yang stabil" atau "kejelasan batas negara" dapat menimbulkan masalah.
Opini Publik dan Tekanan Domestik: Meskipun ada dukungan dari parlemen dan publik Jepang untuk mengakui Negara Palestina, terutama terkait krisis kemanusiaan di Gaza, pemerintah tetap mempertimbangkan opini internasional dan potensi dampaknya terhadap kepentingan nasionalnya.
Jadi, anggapan "takut pada Israel" mungkin sebagian benar dalam arti diplomatik. Jepang mengkalkulasi bahwa pengakuan dapat memicu ketegangan dengan Israel dan sekutunya, terutama AS. Namun, ini bukan satu-satunya faktor. Pertimbangan legal, diplomatik, keamanan, dan ekonomi juga berperan penting.
Maka, jawaban yang paling mendekati kebenaran adalah: Jepang tidak hanya takut pada Israel dalam artian emosional atau psikologis, tetapi lebih pada ketakutan diplomatik dan strategis, yaitu kekhawatiran akan reaksi dari Israel dan sekutu kuatnya, Amerika Serikat.