Hamas saat ini tengah serius mempelajari proposal perdamaian untuk Gaza yang diajukan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Diskusi intensif melibatkan berbagai pihak terkait di internal Hamas.
Sumber internal Palestina mengungkapkan bahwa Hamas telah memulai serangkaian konsultasi dengan para pemimpin politik dan militer, baik yang berada di dalam maupun di luar Palestina. Kompleksitas rencana tersebut diperkirakan akan membutuhkan waktu beberapa hari untuk pembahasan yang mendalam.
Pihak Qatar mengonfirmasi bahwa Hamas berjanji akan mengkaji proposal tersebut dengan seksama. Hamas juga menjadwalkan pertemuan khusus untuk membahas rencana tersebut secara detail. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar menyampaikan optimisme bahwa rencana ini merupakan solusi komprehensif.
Sebelumnya, Trump memberikan tenggat waktu kepada Hamas, sekitar tiga hingga empat hari, untuk menanggapi 20 poin utama dari rencana perdamaian yang bertujuan mengakhiri konflik di Gaza.
Rencana tersebut menyerukan gencatan senjata, pembebasan seluruh sandera oleh Hamas dalam waktu 72 jam, pelucutan senjata bagi Hamas, dan penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza. Sebagai tindak lanjut, akan dibentuk otoritas transisi pasca-perang yang dipimpin oleh Trump sendiri.
Proposal ini mendapat sambutan positif dari sejumlah negara besar, termasuk negara-negara Arab dan negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim.
Kesepakatan ini menekankan perlunya pelucutan senjata Hamas secara total dan penghentian peran mereka dalam pemerintahan Palestina di masa depan. Namun, anggota Hamas yang bersedia "hidup berdampingan secara damai" akan diberikan amnesti.
Rencana ini juga mencakup penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza, setelah konflik yang berlangsung hampir dua tahun sejak 7 Oktober 2023.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa militer Israel akan tetap berada di sebagian besar wilayah Gaza dan ia tidak menyetujui pembentukan negara Palestina selama perundingan.
Menteri Keuangan sayap kanan Israel, Bezalel Smotrich, yang merupakan anggota pemerintahan koalisi Netanyahu, mengkritik rencana tersebut sebagai "kegagalan diplomatik yang besar."