Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini membawa angin segar bagi kebebasan berpendapat di dunia maya. Ahli hukum tata negara menegaskan bahwa warga kini tak perlu khawatir terjerat pidana saat melayangkan kritik terhadap pejabat publik maupun lembaga pemerintahan.
Keputusan MK ini berkaitan dengan uji materi Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE yang diajukan oleh seorang aktivis lingkungan. MK mengabulkan sebagian permohonan tersebut, menyatakan bahwa pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik tidak dapat diterapkan pada lembaga pemerintah, kelompok dengan identitas tertentu, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.
Dengan kata lain, frasa "orang lain" dalam pasal-pasal tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Implikasinya, delik pencemaran nama baik tidak lagi relevan untuk menjerat pengkritik institusi dan pejabat publik. Kritikan terhadap jabatan, bahkan yang bernada pedas sekalipun, dianggap sah dan dilindungi.
Selain itu, MK juga memberikan penafsiran baru terhadap Pasal 28 ayat (3) UU ITE terkait penyebaran informasi bohong yang menimbulkan "kerusuhan". MK menegaskan bahwa "kerusuhan" yang dimaksud haruslah dalam konteks gangguan ketertiban umum di ruang fisik, bukan sekadar kontroversi atau perdebatan di dunia digital.
Kedua putusan ini dianggap sebagai langkah maju bagi demokrasi digital di Indonesia. Sebelumnya, aktivitas digital warga negara seringkali dibayangi kekhawatiran akan jerat hukum. Kini, dengan adanya kejelasan interpretasi dari MK, warga dapat lebih leluasa menyampaikan pendapat dan kritik tanpa rasa takut berlebihan.