Pengamat militer mengkritik keras kebijakan mengirim siswa bermasalah ke barak militer. Langkah ini dinilai sebagai bentuk kemalasan birokrasi dalam mencari solusi tepat untuk masalah psikososial remaja.
Menurut pengamat, kenakalan remaja seperti tawuran, mabuk, kecanduan game, atau pembangkangan bukanlah ancaman keamanan yang memerlukan intervensi militer. Sebaliknya, perilaku tersebut adalah manifestasi dari masalah psikososial kompleks yang membutuhkan pendampingan, bukan penertiban.
"Alih-alih merancang intervensi pendidikan dan konseling yang sesuai, kebijakan ini justru mengambil jalan pintas dengan menyerahkan anak-anak ke lingkungan militer," ujarnya. Hal ini berpotensi menimbulkan risiko psikologis dan menunjukkan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mencari solusi yang kreatif dan humanis.
Pengamat juga menilai pelibatan militer dalam pendidikan sebagai indikasi krisis ide. Mengandalkan institusi militer untuk menyelesaikan masalah sosial sipil dianggap sebagai bentuk ketidakmampuan, bukan ketegasan kepemimpinan. Disiplin yang efektif seharusnya tumbuh dari kesadaran, bukan ketakutan. "Siswa membutuhkan ruang belajar yang memulihkan, bukan barak. Jika masalahnya adalah sikap, pendekatan yang diperlukan adalah pedagogis dan reflektif, bukan koersif," tegasnya.
Sebelumnya, seorang tokoh mengumumkan rencana menggandeng TNI dan Polri dalam program pendidikan berkarakter di Jawa Barat. Program ini menargetkan siswa yang terindikasi nakal agar terhindar dari perilaku negatif, dengan pihak TNI menyiapkan barak sebagai fasilitas pendukung. Prioritas diberikan kepada siswa yang sulit dibina dan terlibat dalam pergaulan bebas atau tindakan kriminal.
Selain itu, kurikulum wajib militer juga akan diterapkan di sekolah-sekolah setingkat SMA/SMK, dengan melibatkan anggota TNI dan Polri sebagai pembina. Tujuan dari kurikulum ini adalah untuk membentuk karakter bela negara, menggali potensi siswa, dan mencegah kenakalan remaja.