Gagasan Kontroversial: Ukraina Dibagi Seperti Berlin Pasca-Perang Dunia II?

Mantan penasihat keamanan nasional AS, Keith Kellogg, yang juga pernah menjadi utusan khusus untuk Ukraina dan Rusia, mengemukakan ide mengejutkan terkait solusi damai bagi konflik yang sedang berlangsung. Ia mengusulkan pembagian wilayah Ukraina, meniru model Berlin setelah Perang Dunia II.

Rencananya melibatkan penempatan pasukan Inggris dan Perancis di wilayah barat Ukraina untuk menjaga keamanan. Sementara itu, wilayah timur yang saat ini diduduki Rusia akan tetap berada di bawah kendali militer Rusia. Di antara kedua wilayah tersebut, akan dibentuk zona demiliterisasi dengan keberadaan tentara Ukraina.

Kellogg menggambarkan visinya dengan mengatakan bahwa Ukraina dapat "dibuat seperti Berlin". Namun, ia menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak akan mengirimkan pasukannya ke zona konflik.

Usulan ini berpotensi membuat Ukraina kehilangan wilayah timurnya secara permanen. Meskipun rincian lengkap mengenai kemungkinan penyerahan wilayah lain belum diungkapkan, ide ini tentu memicu perdebatan sengit karena menyangkut kedaulatan suatu negara.

Pemerintah Rusia sendiri telah menyatakan penolakannya terhadap kehadiran pasukan NATO, termasuk Inggris dan Perancis, di wilayah Ukraina dalam kondisi apa pun. Kellogg sebelumnya juga pernah dikeluarkan dari perundingan damai oleh Rusia karena dianggap terlalu condong ke pihak Ukraina.

Juru bicara Donald Trump, Karoline Leavitt, menyatakan bahwa Trump akan memanfaatkan pengaruhnya untuk mendorong terciptanya perdamaian. "Kami memiliki kekuatan untuk menekan agar ada kesepakatan damai, dan Presiden Trump serius ingin mewujudkannya," ujarnya.

Sebelum pertemuan antara Steve Witkoff, utusan Trump, dan Presiden Rusia Vladimir Putin di St. Petersburg, Trump sempat menuliskan peringatan di media sosial, mendesak Rusia untuk segera bertindak.

Pertemuan antara Witkoff dan Putin berlangsung selama lebih dari empat jam, membahas kemungkinan gencatan senjata. Namun, banyak analis yang skeptis mengenai keseriusan Rusia dalam mengakhiri konflik. Bahkan, sebuah lembaga riset dari Washington, Institute for the Study of War, menilai bahwa Rusia hanya menggunakan pembicaraan ini sebagai taktik untuk menunda negosiasi yang sebenarnya.

Scroll to Top