Salat Jumat di Qingdao: Kisah KRL Indonesia dan Perjumpaan Lintas Bangsa

Di sebuah Jumat siang di Qingdao, Tiongkok, suara "Aamiin" menggema keras, mengisyaratkan kehadiran jemaah asal Indonesia. Lebih dari sepuluh orang dari anak perusahaan PT KAI, tengah menjalani pelatihan KRL, menjadi bagian dari pemandangan unik di masjid kota itu.

Kehadiran mereka mengingatkan penulis akan pengalaman salat Jumat seorang diri di pedalaman Tiongkok, di mana hanya ia yang berseru "Aamiin". Kini, ia menyesuaikan diri, mengucapkan dalam hati.

Masjid Qingdao penuh sesak, meluber hingga ke teras. Di antara jemaah, dua pemuda dari Cilacap dan Cirebon, bekerja di perusahaan Italia yang membuat platform untuk sumur gas di tengah laut. Qingdao dipilih karena biaya produksi yang lebih ekonomis.

Usai salat, halaman masjid menjadi tempat berkumpul. Para masinis KAI, terbiasa dengan KRL Jepang atau INKA Madiun, kini berlatih mengoperasikan KRL buatan Qingdao. Lima rangkaian sudah berada di Indonesia untuk pengujian, enam lainnya menyusul. Kabarnya, KRL buatan Qingdao ini akan beroperasi di Jakarta akhir bulan ini.

Salah seorang dari mereka mengenakan batik dan sarung, simbol budaya Indonesia. "Saya NU," jawabnya singkat saat ditanya soal sarung.

Khutbah Jumat singkat, lima menit saja, diawali bahasa Arab yang fasih, dilanjutkan Mandarin, dan diakhiri doa dalam bahasa Arab.

Sebelum salat dimulai, penulis sempat berbincang dengan dua warga Tiongkok asal Qinghai dan Xining. Ia terkejut karena penulis pernah mengunjungi daerah mereka, bahkan hingga gurun Ghobi untuk melihat pembangkit listrik tenaga angin.

Kemudian, datanglah mahasiswa dari berbagai negara: Tajikistan, Kazakstan, Afghanistan, Syria, Maroko, Kashmir, New Delhi. Mereka belajar bahasa Mandarin di Qingdao. Mahasiswa asal Tajikistan bahkan menyapa dalam bahasa Indonesia, menyebutkan ada 30 mahasiswa Indonesia di kampusnya.

Ritual wudu di masjid ini unik. Semua dilakukan sambil duduk, tetap bersepatu. Kran air dibuka sambil duduk, untuk berkumur, membasuh muka, tangan, telinga, dan rambut. Lalu, sepatu kanan dibuka, kaus kaki dilepas, dan telapak kaki kanan dibasuh dengan air dari ceret, bukan dari kran. Setelah dikeringkan dengan handuk kecil, kaus kaki dan sepatu dipakai kembali. Proses yang sama diulangi untuk kaki kiri.

Ruang masjid di lantai dua mampu menampung lebih dari 300 jemaah. Acara dimulai dengan pembacaan Surah Ali Imran, dilanjutkan ceramah agama selama 15 menit dalam bahasa Mandarin. Setelah salat sunah, azan dikumandangkan, dan khotbah disampaikan, membahas makna Surah Ali Imran.

Usai salat, jemaah Indonesia menjadi pusat perhatian. Banyak yang tidak langsung meninggalkan masjid, memilih untuk salat sunah.

Seorang karyawan KAI berujar sedih karena tidak mengerti arti khutbah. Tawa pun pecah, mencairkan suasana keakraban lintas budaya.

Scroll to Top