Polemik Mutasi TNI: Intervensi Politik dan Sorotan terhadap Profesionalisme Militer

Keputusan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membatalkan mutasi sejumlah perwira tinggi (pati) menuai sorotan publik. Pembatalan ini, terutama terkait Letjen TNI Kunto Arief Wibowo, putra mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, dari Pangkogabwilhan I menjadi Staf Khusus KSAD, memicu spekulasi adanya intervensi politik.

Awalnya, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengeluarkan surat keputusan mutasi ratusan perwira tinggi. Namun, keputusan tersebut direvisi dalam waktu singkat, dengan tujuh nama, termasuk Kunto, dicoret dari daftar mutasi. Hal ini menimbulkan dugaan tarik-menarik kepentingan di tubuh TNI.

Isu "matahari kembar", yang sempat mencuat saat transisi pemerintahan, kembali menghangat. Banyak pihak menilai pembatalan mutasi ini mengindikasikan campur tangan politik dalam tubuh militer, dengan Presiden Prabowo Subianto dianggap menunjukkan otoritasnya.

Tanggapan TNI dan Analisis Pengamat

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, membantah keras adanya tekanan eksternal atau motif politik dalam pembatalan mutasi. Ia menegaskan bahwa keputusan tersebut murni didasarkan pada profesionalitas dan proporsionalitas organisasi. Kapuspen juga menepis keterkaitan pembatalan mutasi dengan keterlibatan Try Sutrisno dalam forum purnawirawan yang mendesak pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Namun, sejumlah pengamat memiliki pandangan berbeda. Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menilai bahwa Prabowo ingin menunjukkan dirinya sebagai presiden sebenarnya di balik pembatalan mutasi. Jamiluddin menduga Prabowo tidak ingin Letjen Kunto dimutasi dari jabatannya. Ia juga tidak menampik adanya aroma politis dalam mutasi Kunto, mengingat kedekatan waktunya dengan deklarasi forum purnawirawan yang melibatkan Try Sutrisno.

Kritik dari DPR

Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menyatakan keprihatinannya atas batalnya mutasi tersebut, yang menurutnya menandakan TNI mudah digoyahkan oleh urusan politik. Ia menekankan bahwa mutasi seharusnya didasarkan pada kebutuhan organisasi, bukan tekanan politik. Hasanuddin juga mengkritik kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang dianggap kurang tegas dan konsisten dalam menjaga marwah institusi. Perubahan SK yang cepat dan tidak konsisten dinilai mengganggu stabilitas internal dan kepercayaan publik terhadap netralitas TNI.

Scroll to Top