Kota pelabuhan Port Sudan, yang sebelumnya menjadi harapan bagi ratusan ribu pengungsi, kini berubah menjadi zona konflik aktif setelah serangkaian serangan drone mengguncang wilayah tersebut. Insiden ini menandai peningkatan dramatis dalam perang saudara yang menghancurkan Sudan.
Pada Selasa (6/5/2025), serangan drone menargetkan bandara dan markas militer, melanjutkan rentetan serangan udara selama tiga hari berturut-turut. Seorang pejabat bandara melaporkan bahwa drone menghantam "bagian sipil Bandara Port Sudan," hanya beberapa hari setelah fasilitas militer di area yang sama diserang. Akibatnya, semua penerbangan di bandara utama Sudan itu dihentikan sementara.
Selain bandara, markas besar tentara di pusat kota dan sebuah hotel terdekat juga menjadi sasaran. Sumber militer mengkonfirmasi bahwa "satu drone menyerang pangkalan utama tentara," yang berlokasi dekat dengan kediaman Panglima Angkatan Bersenjata Abdel Fattah al-Burhan. Ledakan juga terdengar dari arah pelabuhan dan depot bahan bakar di bagian selatan kota, tempat badan-badan PBB dan lembaga bantuan internasional beroperasi.
Serangan terhadap infrastruktur sipil, termasuk depot bahan bakar, memicu kebakaran dan memperburuk kondisi kemanusiaan yang sudah genting. Port Sudan adalah jalur utama bantuan kemanusiaan ke Sudan, di mana PBB memperingatkan tentang kelaparan dan krisis pangan akut yang dialami oleh hampir 25 juta orang.
Kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) diduga berada di balik serangan-serangan ini, menggunakan drone rakitan maupun canggih. Tentara Sudan menuding Uni Emirat Arab memasok drone-drone tersebut kepada RSF. Serangan ini diyakini sebagai upaya RSF untuk menunjukkan jangkauan operasional mereka dan mengganggu logistik pasukan pemerintah setelah kehilangan wilayah penting.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa serangan terhadap Port Sudan merupakan "perkembangan yang mengkhawatirkan dan mengancam perlindungan warga sipil serta operasi kemanusiaan."
Perang selama dua tahun antara militer dan RSF telah menewaskan puluhan ribu orang dan memaksa 13 juta orang mengungsi, menciptakan krisis kelaparan dan pengungsian terbesar di dunia. Konflik ini juga membagi Sudan secara de facto, dengan tentara menguasai pusat, utara, dan timur, sementara RSF menguasai sebagian besar Darfur dan beberapa wilayah di selatan.
Mahkamah Internasional (ICJ) menolak gugatan Sudan terhadap Uni Emirat Arab, yang dituduh terlibat dalam genosida melalui dukungannya terhadap RSF. Kementerian Luar Negeri Sudan menyatakan mereka "menghormati" putusan tersebut.