Ahmad Dhani Dinyatakan Melanggar Kode Etik DPR RI Akibat Ucapannya

Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memutuskan bahwa Ahmad Dhani, anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, telah melanggar kode etik terkait dengan sejumlah pernyataannya. Keputusan ini diambil dalam sidang yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, pada Rabu, 7 Mei 2025.

Dua kasus berbeda yang melibatkan ucapan menjadi dasar pelaporan terhadap musisi Dewa 19 tersebut. MKD menilai, Ahmad Dhani terbukti melanggar etika yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap anggota dewan.

Sanksi ringan berupa teguran lisan dijatuhkan kepada Ahmad Dhani atas pelanggaran kode etik ini. Selain itu, MKD mewajibkan Ahmad Dhani untuk meminta maaf kepada pihak pelapor dalam waktu tujuh hari sejak keputusan diumumkan, atau selambatnya tanggal 14 Mei 2025.

Sehari sebelum putusan, pada Selasa, 6 Mei 2025, MKD telah meminta keterangan dari kedua pihak pelapor.

Lantas, apa saja ucapan Ahmad Dhani yang dianggap melanggar kode etik?

Kasus pertama terkait dengan pernyataan seksis yang dilontarkan saat rapat bersama Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, mengenai naturalisasi pemain sepak bola. Dhani mengusulkan agar PSSI mengurangi pemain naturalisasi dengan ciri fisik tertentu dan menyarankan untuk mencari pemain dengan ras yang lebih mirip dengan masyarakat Indonesia. Ia juga mengusulkan naturalisasi mantan pemain sepak bola berusia di atas 40 tahun untuk "dijodohkan" dengan perempuan Indonesia.

Ucapan ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk Komnas Perempuan, dan dilaporkan oleh Joko Priyoski karena dianggap seksis dan merendahkan perempuan.

Kasus kedua adalah laporan dari Rayen Pono, yang merasa tersinggung karena Ahmad Dhani sengaja memelesetkan namanya menjadi "Porno" dalam undangan diskusi sesama musisi.

Selama sidang MKD, Ahmad Dhani berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan pernyataannya terkait naturalisasi pemain sepak bola. Ia meyakini bahwa ucapannya tidak bertentangan dengan norma agama maupun Pancasila. Ia juga mengklaim tidak menyarankan perbuatan melanggar norma, melainkan menjodohkan yang dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila maupun agama.

Scroll to Top