Ahli Forensik Digital Dicecar 97 Pertanyaan Terkait Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi

JAKARTA – Rismon Sianipar, seorang ahli forensik digital, telah memberikan keterangan sebagai saksi di Polda Metro Jaya terkait laporan dugaan ijazah palsu yang menyeret nama mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam proses pemeriksaan, Rismon mengaku menerima sekitar 97 pertanyaan dari penyidik.

"Saya hadir memenuhi undangan klarifikasi, status saya masih sebagai saksi. Total ada 97 pertanyaan," ungkap Rismon pada Selasa (27 Mei 2025).

Menurut Rismon, pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi metode ilmiah yang ia gunakan dalam kajiannya. "Saya ditanya tentang metode-metode ilmiah yang saya pakai. Namun, ada beberapa pertanyaan yang tidak saya jawab karena menyangkut hal-hal teknis," jelasnya.

Rismon menegaskan bahwa klarifikasi yang ia berikan fokus pada metode ilmiah yang ia terapkan untuk menganalisis lembar pengesahan dan skripsi Jokowi, serta akun-akun yang pernah digunakan untuk menyebarkan hasil kajiannya. "Saya memberikan penjelasan seperlunya," tambahnya.

Sementara itu, kuasa hukum Rismon, Jemi Mokuolensang, berpendapat bahwa banyak pertanyaan yang diajukan di luar substansi perkara. "Dari 97 pertanyaan, banyak yang tidak relevan dengan tujuan klarifikasi. Kami tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut karena tidak ada kaitannya dengan pemanggilan," tuturnya.

Sebelumnya, Jokowi telah melaporkan lima orang dengan inisial RS, ES, RS, T, dan K ke Polda Metro Jaya atas dugaan fitnah dan pencemaran nama baik terkait isu ijazah palsu.

Kuasa hukum Jokowi, Yakup Hasibuan, menjelaskan bahwa laporan tersebut didasarkan pada Pasal 310 dan 311 KUHP, serta beberapa pasal dalam Undang-Undang ITE, termasuk Pasal 27A, 32, dan 35.

Rivai Kusumanegara, kuasa hukum Jokowi lainnya, menambahkan bahwa pasal-pasal tersebut berkaitan dengan fitnah, pencemaran nama baik, dan penyebaran informasi yang direkayasa melalui media elektronik. "Pasal 311 adalah tentang fitnah dan pencemaran nama baik. Sementara Pasal 35, 32, dan 27A mengatur tentang pencemaran nama baik yang dilakukan dengan rekayasa teknologi, baik itu mengurangi, menambah, atau melakukan manipulasi terhadap teknologi," pungkasnya.

Scroll to Top