Kontradiksi RUPTL 2025-2034: Tambahan PLTU Batu Bara Bayangi Transisi Energi Indonesia

Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang baru saja dirilis memuat kembali rencana penambahan pembangkit listrik berbasis energi fosil, khususnya batu bara dan gas. Langkah ini menimbulkan tanda tanya besar, mengingat komitmen Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menghentikan operasional PLTU batu bara, yang disampaikan pada forum internasional KTT G20.

RUPTL terbaru ini mengagendakan penambahan total kapasitas pembangkit listrik sebesar 59,2 GW dalam kurun waktu 10 tahun mendatang. Dari jumlah tersebut, 16,6 GW berasal dari energi fosil, sementara sisanya, 42,6 GW, diharapkan berasal dari energi baru terbarukan (EBT). Detailnya, penambahan pembangkit listrik energi fosil mencakup 6,3 GW PLTU batu bara dan 10,3 GW pembangkit listrik tenaga gas (PLTG). Dengan demikian, sekitar 24% dari total penambahan kapasitas pembangkit listrik masih bertumpu pada sumber energi yang mencemari lingkungan.

Rencana ini berseberangan dengan pernyataan Prabowo di KTT G20, Brasil, yang menjanjikan penghapusan bertahap PLTU batu bara sebagai bagian dari visi Indonesia mencapai net zero emission sebelum 2050. Prabowo kala itu menyatakan Indonesia akan membangun lebih dari 75 GW tenaga terbarukan dalam 15 tahun ke depan.

Pengamat energi menilai pemerintah menunjukkan inkonsistensi dalam mewujudkan transisi energi berkelanjutan. RUPTL sebelumnya (2021-2030) sebenarnya sudah membatasi penambahan PLTU batu bara hingga 2027. Penambahan PLTU dalam RUPTL terbaru ini dianggap sebagai kemunduran, karena PLTU batu bara yang dibangun saat ini berpotensi beroperasi hingga 2060, menghambat target dekarbonisasi.

Selain batu bara, penambahan PLTG sebesar 10,3 GW juga menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, PLN sendiri saat ini mengalami defisit pasokan gas bumi. Kekhawatiran muncul bahwa PLTG baru akan beroperasi tidak maksimal atau bahkan beralih menggunakan bahan bakar minyak (BBM), yang akan meningkatkan biaya produksi listrik.

Meskipun porsi EBT dalam RUPTL 2025-2034 cukup besar, angkanya masih di bawah target yang ditetapkan dalam program Just Energy Transition Partnership (JETP), yang mengharuskan Indonesia menambah 54 GW EBT hingga 2030.

Penyertaan energi nuklir sebagai bagian dari EBT juga menuai kritik. Pilihan pada reaktor modular berkapasitas kecil (SMR) yang belum terbukti secara komersial dikhawatirkan akan menghasilkan energi yang jauh lebih mahal daripada pembangkit listrik berbasis fosil.

Dilema transisi energi menjadi latar belakang keputusan pemerintah untuk kembali menambah PLTU batu bara. Di satu sisi, ada tuntutan global untuk beralih ke energi bersih. Di sisi lain, Indonesia masih menghadapi keterbatasan teknologi dan biaya EBT yang relatif mahal. Ketergantungan pada teknologi impor dan kurangnya dukungan pembiayaan dari perbankan dalam negeri menjadi tantangan tersendiri.

PLTU batu bara dinilai masih menjadi pilihan paling efisien dalam kondisi ekonomi dan perkembangan teknologi saat ini. Selain itu, pemerintah daerah juga masih sangat bergantung pada pendapatan dari PLTU batu bara.

Kembalinya PLTU batu bara dalam RUPTL 2025-2034 dikhawatirkan akan mengganggu iklim investasi di sektor EBT. Investor berpotensi menarik diri karena ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah. Pemerintah perlu memastikan insentif dan jaminan risiko investasi yang menarik bagi investor EBT untuk menjaga keberlanjutan transisi energi.

Scroll to Top