Kontroversi Penyaluran Bantuan di Gaza: Misi Kemanusiaan dalam Bayang-Bayang Konflik

Jalur Gaza, wilayah yang dilanda konflik berkepanjangan, kembali menjadi sorotan dengan beroperasinya sebuah organisasi bantuan kemanusiaan bernama Gaza Humanitarian Foundation (GHF). Lembaga yang didukung oleh Amerika Serikat ini memulai misinya di tengah gelombang kritik tajam dari berbagai pihak, mulai dari kalangan kemanusiaan, pengamat internasional, hingga mantan direktur eksekutifnya sendiri.

GHF, yang bertugas menyalurkan bantuan di Jalur Gaza, telah memulai distribusi bantuan sejak Senin (26/05). Inisiatif ini berpotensi menjadi operasi bantuan pangan terbesar sejak akses bagi lembaga-lembaga kemanusiaan ke wilayah tersebut ditutup pada awal Maret oleh Israel.

Namun, keberadaan GHF yang beroperasi dengan dukungan Israel dan Amerika Serikat, sementara lembaga-lembaga bantuan yang sudah lama beroperasi, termasuk jaringan lembaga PBB, masih dilarang masuk, memicu kontroversi. Banyak pihak menilai operasi GHF tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang mendasar.

Mengenal GHF dan Aktivitasnya

Gaza Humanitarian Foundation (GHF) adalah lembaga bantuan kemanusiaan yang terdaftar di Jenewa, Swiss. Lembaga ini beroperasi dengan bantuan perusahaan keamanan dan logistik swasta. GHF menjadi bagian penting dari rencana penyaluran bantuan kemanusiaan di Gaza yang didukung oleh Amerika Serikat dan Israel.

GHF berencana mendirikan empat titik distribusi untuk menyalurkan makanan dan pasokan medis kepada warga Gaza. Targetnya adalah mendistribusikan 300 juta porsi makanan dalam 90 hari pertama operasinya, serta menjangkau satu juta warga Palestina dalam waktu satu minggu. Mengingat populasi Jalur Gaza sekitar dua juta jiwa, skala operasi ini cukup signifikan.

Namun, dimulainya operasi GHF bersamaan dengan pengunduran diri direktur eksekutifnya, Jake Wood, seorang mantan Marinir AS. Wood mengundurkan diri karena menilai GHF tidak mampu mematuhi "prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, netralitas, ketidakberpihakan, dan independensi."

Kritik dari Komunitas Kemanusiaan

Pengunduran diri Wood terjadi di tengah gelombang kritik terhadap rencana penyaluran bantuan GHF di Gaza yang dilakukan dengan persetujuan dan keterlibatan Israel.

Kritik utama tertuju pada fakta bahwa bantuan seharusnya disalurkan oleh pihak netral yang tidak terlibat dalam konflik. Dalam kasus ini, Israel, sebagai pihak yang berkonflik dan pendudukan, dianggap tidak netral.

Lokasi distribusi bantuan juga menjadi sorotan. Rencana Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk menggunakan militer Israel dalam mengamankan distribusi bantuan dan membentuk "zona steril" di wilayah selatan Gaza, memicu kekhawatiran. Hingga kini, titik distribusi GHF telah ditetapkan di Selatan, wilayah yang dihuni sedikit warga Palestina. Israel mengklaim pendekatan ini bertujuan agar bantuan tidak diperoleh Hamas.

Langkah ini memicu kekhawatiran akan potensi pemindahan paksa warga dari wilayah utara Gaza yang padat penduduk. Ada kekhawatiran bahwa bantuan digunakan sebagai alat untuk memindahkan penduduk dari Gaza, yang melanggar prinsip bantuan kemanusiaan yang mengharuskan bantuan diberikan di tempat warga berada, bukan memaksa mereka melakukan perjalanan jauh.

Kelompok Hamas juga memperingatkan warga Palestina di Gaza untuk tidak bekerja sama dengan GHF, dengan alasan sistem yang diajukan akan memperkuat kebijakan kelaparan sistematis terhadap warga Palestina dan menjadikan makanan sebagai senjata di masa perang.

Akses Bantuan PBB Terhambat

Di tengah kontroversi ini, sejumlah lembaga kemanusiaan terus mendesak agar layanan bantuan kemanusiaan bisa kembali dijalankan secara penuh di Gaza. Mereka menekankan bahwa sudah ada sistem kemanusiaan internasional yang terbukti efektif dan menghormati hukum humaniter internasional.

Masalahnya, sistem yang sudah ada saat ini tidak diizinkan untuk beroperasi secara maksimal. Meski GHF telah memulai distribusi logistik, kendaraan dari lembaga bantuan independen masih dilarang masuk ke wilayah Gaza.

Larangan terhadap distribusi bantuan non-makanan bisa dianggap sebagai pengepungan, yang berarti memutus akses suatu wilayah dari dunia luar. Meski diizinkannya GHF untuk membawa bantuan merupakan langkah positif, bantuan dari organisasi kemanusiaan lainnya tetap penting, terutama untuk menyuplai kebutuhan lain seperti bahan bakar, alat masak, tempat tinggal, obat-obatan, dan barang-barang esensial lainnya.

Ribuan truk bermuatan barang bantuan yang sangat dibutuhkan masih tertahan di sepanjang perbatasan Gaza, menunggu izin masuk. Beberapa di antaranya membawa obat-obatan yang terancam kedaluwarsa. UNRWA menyebut sekitar 3.000 truk masih tertahan di Yordania dan Mesir, menunggu izin melintasi perbatasan Israel.

Situasi ini menyoroti kompleksitas penyaluran bantuan kemanusiaan di wilayah konflik, di mana faktor politik dan keamanan sering kali menghambat upaya untuk meringankan penderitaan warga sipil.

Scroll to Top