Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,37% pada Mei 2025. Penurunan harga cabai, bawang, serta penyesuaian harga BBM menjadi penyebab utama. Namun, ekonom melihat fenomena ini bukan sekadar keberhasilan mengendalikan harga.
Deflasi ini justru memunculkan kekhawatiran terkait melemahnya daya beli masyarakat. Penurunan harga seharusnya memicu peningkatan permintaan, namun yang terjadi justru sebaliknya. Ini mengindikasikan adanya masalah mendasar pada kemampuan masyarakat untuk berbelanja.
Indikasi pelemahan daya beli ini diperkuat oleh pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 yang hanya mencapai 4,87%. Konsumsi rumah tangga, sebagai penopang utama, juga tumbuh lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 4,89% berbanding 4,91%.
Data lain seperti penurunan penjualan ritel, kontraksi Purchasing Managers’ Index (PMI), serta penurunan penjualan semen dan kendaraan roda dua semakin memperjelas gambaran pelemahan daya beli. Masyarakat cenderung menahan pengeluaran karena ketidakpastian ekonomi.
Akar masalahnya adalah minimnya lapangan kerja baru yang tercipta, bahkan adanya peningkatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Akibatnya, pendapatan masyarakat secara keseluruhan tidak meningkat, dan banyak yang terpaksa menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat lebih memilih untuk menyimpan uang sebagai dana darurat daripada membelanjakannya.
Deflasi berkelanjutan ini menjadi sinyal bahwa sebagian besar masyarakat menahan belanja. Ini bukan pertanda baik, melainkan indikasi bahwa konsumsi rumah tangga melambat dan ekonomi ke depan akan menghadapi tantangan yang lebih berat.