Kembali ke Shadyside, kota yang lekat dengan kriminalitas dan stigma kelas bawah, Fear Street: Prom Queen memperkenalkan Lori Granger, diperankan oleh India Fowler. Lori berambisi meraih gelar ratu prom demi memulihkan nama baik keluarganya yang tercoreng akibat rumor ibunya membunuh sang ayah.
Sahabatnya, Megan (Suzanna Son), menganggap ajang ini tak lebih dari sekadar lelucon. Sementara itu, Tiffany (Fina Strazza) dan gengnya menjadi rival berat Lori, apalagi Tiffany menjalin kasih dengan pria idaman Lori. Di tengah kemeriahan pesta prom, teror menghantui. Seorang pembunuh misterius mengincar para siswa, siap memenggal kepala siapa saja yang menghalangi jalannya.
Trilogi Fear Street sebelumnya sukses merebut hati penonton lewat presentasi audio-visual memukau, karakter yang mudah disukai, dan plot yang menarik. Sayangnya, formula ini tak sepenuhnya hadir di Fear Street: Prom Queen.
Film slasher remaja memang ditujukan sebagai hiburan ringan. Namun, inti keseruannya terletak pada ketegangan yang dibangun. Hal ini yang terasa kurang di film ini.
Latar tahun 80-an terasa kurang otentik. Para aktor muda seolah hanya berkostum ala era tersebut, lengkap dengan lagu-lagu populer. Penonton sulit merasakan keterikatan dengan setting dan karakter, seperti yang berhasil dilakukan trilogi sebelumnya.
Film ini tak mampu menyamai kedalaman trilogi original dalam mengupas isu identitas seksual dan sistem kelas. Dinamika antar karakter terasa datar dan membosankan. Yang paling disayangkan, ketegangan yang menjadi kunci utama film slasher justru minim terasa.
Meski banyak nyawa melayang, tak ada satu pun adegan pembunuhan yang benar-benar mencengkam. Hanya ada satu adegan yang sedikit kreatif, yaitu ketika pembunuh menggunakan pisau kertas di tempat fotokopi. Namun, adegan ini tak dibingkai dengan suspense yang kuat, sehingga terasa biasa saja.
Tensi yang lemah membuat Fear Street: Prom Queen kurang menggigit. Twist plot yang dihadirkan juga tak cukup kuat untuk memberikan kejutan berarti. Hasilnya, film ini menjadi tontonan yang mudah dilupakan. Seberapa banyak pun potongan tubuh manusia yang berserakan di lantai dansa, tanpa eksekusi yang mumpuni, semua terasa sia-sia.