Harga beras di tingkat konsumen mengalami kenaikan meskipun data menunjukkan surplus produksi yang signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya kenaikan harga beras secara tahunan sebesar 2,37% pada Mei 2025, meskipun terjadi penurunan tipis 0,01% dibandingkan bulan sebelumnya.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan data produksi beras nasional. BPS mencatat bahwa produksi beras pada periode Januari-April 2025 melonjak 26,54% atau 2,94 juta ton, menjadi 14,01 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kementerian Pertanian (Kementan) juga mengklaim stok cadangan beras pemerintah (CBP) telah mencapai 4 juta ton, tertinggi sejak Bulog berdiri. Serapan beras lokal oleh Bulog juga diklaim tertinggi dalam 57 tahun terakhir, melonjak lebih dari 400% dibandingkan periode yang sama dalam 5 tahun terakhir.
Lalu, mengapa harga beras tetap naik di tengah surplus produksi dan stok yang melimpah?
Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman menuding adanya praktik permainan oleh pihak-pihak tertentu sebagai penyebab kenaikan harga beras. Ia mengindikasikan adanya peran "middleman" yang memperpanjang rantai pasok, sehingga harga di tingkat konsumen meningkat.
Mentan menyebutkan bahwa Koperasi Merah Putih akan difungsikan untuk memotong rantai pasok, dari 8 tingkat menjadi hanya 3, yaitu dari produsen, koperasi, langsung ke pembeli.
Sebelumnya, BPS dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah mengingatkan akan tren kenaikan harga beras dan perlunya intervensi untuk mengendalikan harga.
Mentan Amran juga menyatakan optimisme bahwa Bulog akan mampu menyerap 400.000-500.000 ton setara beras produksi gabah petani dalam negeri pada bulan Juni.