GAZA – Koalisi Freedom Flotilla mengirimkan kapal dari Sisilia, Italia, menuju Jalur Gaza dengan misi membawa bantuan simbolis untuk memecahkan blokade Israel.
Aktivis iklim asal Swedia, Greta Thunberg, aktor Game of Thrones, Liam Cunningham, dan Anggota Parlemen Eropa Prancis-Palestina, Rima Hassan, termasuk dalam 12 awak kapal Madleen. Diperkirakan, perjalanan menuju Gaza akan memakan waktu tujuh hari.
Kapal tersebut membawa kebutuhan mendesak bagi warga Gaza, seperti susu formula bayi, tepung, beras, popok, perlengkapan sanitasi wanita, alat desalinasi air, peralatan medis, kruk, dan prostetik anak-anak. Meskipun jumlah bantuan ini terbatas, penyelenggara menekankan nilai simbolisnya.
"Kami melakukan ini karena seberat apapun rintangan yang kami hadapi, kami harus terus berjuang. Saat kami berhenti berusaha, saat itulah kemanusiaan kita hilang," ujar Thunberg dalam konferensi pers di pelabuhan Catania.
Sebelumnya, kapal Freedom Flotilla lainnya, Conscience, gagal melanjutkan pelayaran setelah diserang oleh dua drone di perairan Malta pada awal Mei.
"Betapapun berbahayanya misi ini, itu tidak sebanding dengan diamnya dunia di tengah genosida yang sedang berlangsung," tegas Thunberg.
Koalisi Freedom Flotilla menegaskan bahwa aksi ini merupakan bentuk perlawanan sipil damai. Seluruh sukarelawan dan awak kapal Madleen telah dilatih dalam prinsip anti-kekerasan. Mereka berlayar tanpa senjata, bersatu dalam keyakinan bahwa warga Palestina berhak atas hak, kebebasan, dan martabat yang sama seperti orang lain.
Aksi ini menuai kritikan dari sejumlah pihak di Amerika Serikat dan Israel, yang tampaknya mengancam keselamatan para aktivis.
Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan bahwa setidaknya 4.149 orang tewas di Gaza sejak Israel melanjutkan serangan pada 18 Maret, sehingga total korban perang menjadi lebih dari 54.418 jiwa.
Setelah melarang total masuknya bantuan kemanusiaan selama 11 minggu, Israel akhirnya mengizinkan pengiriman bantuan terbatas dari PBB dan skema distribusi bantuan yang didukung AS pada 19 Mei. Namun, PBB menolak skema ini karena dianggap diskriminatif dan tidak efektif.
Pada hari Minggu, pasukan Israel menewaskan sedikitnya 32 orang yang berusaha mendapatkan bantuan melalui skema baru tersebut di Gaza, serta melukai banyak lainnya. Saksi mata dan pejabat setempat melaporkan bahwa pasukan Israel melepaskan tembakan langsung ke warga sipil yang berkumpul di dua titik distribusi makanan AS-Israel di Rafah dan Gaza tengah.
Kementerian Kesehatan menuduh Israel menggunakan mekanisme bantuan baru tersebut sebagai "jebakan pembunuhan massal" dan alat untuk "pengungsian paksa penduduk Gaza".