Transformasi Digital Inklusif: Kunci Pemerataan Ekonomi Indonesia

JAKARTA (4/6/2025) — Gelombang transformasi digital yang menerjang sektor ekonomi menuntut respons yang inklusif, memastikan manfaatnya merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Transaksi digital, sebagai salah satu inovasi utama, membutuhkan fondasi infrastruktur dan konektivitas internet yang mumpuni.

Kesenjangan digital bukan hanya soal akses, tetapi juga ketidaksetaraan keterampilan dan kesempatan untuk menguasai teknologi. Indeks Daya Saing Digital 2025 menunjukkan disparitas yang signifikan antar wilayah. Pulau Jawa masih mendominasi, sementara Papua tertinggal.

Pada tahun 2023, nilai transaksi digital mencapai Rp1.856 triliun, melonjak menjadi Rp2.492 triliun di 2024, dan diproyeksikan terus tumbuh 16,72% hingga Rp2.909 triliun pada 2025. Pertumbuhan ini menandakan potensi besar dalam mendorong inklusi keuangan.

Inklusi keuangan bertujuan agar setiap individu memiliki akses terhadap layanan keuangan yang sesuai kebutuhan. Sayangnya, tidak semua masyarakat memiliki akses dan kelayakan untuk memperolehnya dari lembaga keuangan.

Tanpa pembenahan, ledakan transaksi digital hanya menguntungkan masyarakat perkotaan dengan akses internet yang memadai. Daerah dengan penetrasi internet rendah akan terlewatkan.

Sistem pembayaran kini lebih beragam, melibatkan lembaga keuangan non-tradisional seperti fintech. Namun, lanskap ekonomi digital Indonesia sangat bervariasi. Banyak desa tertinggal yang sulit dijangkau, sehingga pembangunan jaringan internet menjadi tantangan besar karena mahalnya biaya dan minimnya infrastruktur pendukung.

Daerah dengan infrastruktur yang lebih baik dapat memfokuskan diri pada perluasan penetrasi internet dan penyediaan layanan yang terjangkau. Tingkat literasi dan kemampuan digital juga bervariasi, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan sumber daya manusia.

Untuk mempersempit kesenjangan digital, pemerintah pusat perlu merangkul pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lokal dalam menyusun strategi transformasi digital yang menyasar daerah perdesaan. Pemerintah pusat berperan sebagai fasilitator, memberikan pedoman melalui forum terbuka, sehingga pemangku kepentingan dapat menentukan lokasi prioritas pembangunan menara komunikasi dan peningkatan literasi digital.

Pembangunan infrastruktur digital yang inklusif, fokus pada wilayah tertinggal dan kelompok masyarakat tertentu, harus menjadi prioritas pemerintah. Peta jalan dan regulasi yang ada perlu dioptimalkan, merespons dinamika dan potensi masalah yang mungkin timbul seiring berjalannya transformasi digital.

Isu-isu ini dibahas dalam Digiweek 2025, sebuah konferensi yang menekankan tanggung jawab bersama para pemangku kepentingan di era digital.

Scroll to Top