Situasi dunia semakin memprihatinkan. Para peneliti dari berbagai lembaga riset terkemuka di Jerman melontarkan pertanyaan menggugah: "Siapa atau apa yang masih mampu menyelamatkan perdamaian dunia?" Pertanyaan ini muncul dalam laporan Friedensgutachten 2025, sebuah analisis konflik internasional yang telah dilakukan sejak tahun 1987. Pesimisme yang mendalam dalam laporan kali ini menjadi sorotan utama.
Konflik yang berkecamuk di Ukraina, Gaza, Sudan, dan berbagai belahan dunia lainnya, menyebabkan lebih dari 122 juta orang terpaksa mengungsi. Keadaan ini mencerminkan betapa rapuhnya perdamaian global saat ini.
Serangan Rusia ke Ukraina dinilai sebagai penyebab utama hancurnya tatanan perdamaian dan keamanan di Eropa. Namun, ketidakpastian baru justru datang dari Amerika Serikat.
Kritik Tajam terhadap Amerika Serikat
Laporan tersebut menyoroti perubahan politik di AS, di mana Donald Trump dan gerakan MAGA dinilai berhasil mengubah demokrasi tertua di dunia menjadi rezim yang cenderung otoriter.
Pemerintahan AS yang baru juga dikritik karena meruntuhkan lembaga dan nilai-nilai liberal di panggung global. Para pemimpin otoriter dan diktator justru dirangkul, sementara gerakan populis sayap kanan didukung di negara-negara demokratis. Hal ini memicu kekhawatiran akan "penularan ideologi otoriter" ke negara lain, termasuk Eropa, yang ditandai dengan melemahnya lembaga hukum internasional, ancaman terhadap kebebasan akademik, dan intervensi terhadap otonomi lembaga masyarakat.
Masa Depan NATO di Pertaruhan
Persekutuan transatlantik antara Eropa dan AS dinilai telah berakhir, begitu pula dengan kerja sama militer. Solidaritas NATO dianggap kehilangan kredibilitasnya. Kedekatan baru antara AS dan Rusia dikhawatirkan akan mengorbankan Ukraina dan kepentingan Eropa.
Bahkan, muncul pertanyaan apakah NATO sudah mati. Meski banyak pihak enggan membicarakannya, fondasi nilai-nilai NATO dinilai sudah lama runtuh. Eropa kini tengah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan berakhirnya NATO, sambil memperkuat kemampuan pertahanannya sendiri.
Eropa Dituntut Lebih Solid
Para peneliti mendesak Jerman untuk menyusun rencana yang jelas dan bertahap guna memperkuat dan mengintegrasikan struktur pertahanan Eropa. Namun, Uni Eropa dinilai masih jauh dari tujuan tersebut. Alih-alih penguatan pertahanan bersama, yang terjadi justru penguatan pertahanan nasional masing-masing negara anggota.
Keamanan tidak boleh hanya dimaknai dari sudut pandang militer. Pengendalian senjata, upaya membangun kepercayaan, diplomasi, dan kebijakan pembangunan yang efektif juga penting. Penguatan militer tidak boleh menjadi alasan untuk mengekspor senjata secara membabi buta.
Hentikan Pasokan Senjata ke Israel
Laporan tersebut juga menyoroti melemahnya hukum internasional dan meningkatnya dehumanisasi dalam peperangan, seperti pelanggaran terhadap perlindungan warga sipil, serangan terhadap rumah sakit dan sekolah, serta penyalahgunaan bantuan kemanusiaan.
Konflik di Gaza menjadi perhatian utama. Para peneliti mendesak penghentian semua pengiriman senjata yang dapat digunakan di Gaza dan Tepi Barat. Israel dinilai telah melanggar hukum humaniter internasional secara mencolok dan melampaui batas hak pembelaan diri yang sah.
Jerman sendiri telah mengizinkan ekspor senjata senilai hampir 500 juta euro ke Israel antara Oktober 2023 dan Mei 2025.
Tolak Netanyahu di Jerman
Laporan ini menekankan pentingnya menghormati hukum internasional, menanggapi pernyataan yang menyebutkan akan tetap mengundang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu meski ada surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Hukum internasional harus diutamakan di atas alasan kenegaraan. Oleh karena itu, kunjungan resmi Netanyahu ke Jerman saat ini dinilai tidak dapat diterima.
Para peneliti juga mendesak Jerman untuk mendukung pengakuan negara Palestina dalam jangka menengah. Penyelesaian jangka panjang konflik Palestina tidak mengurangi hak Israel atas keberadaan sebagai negara Yahudi dalam batas yang aman.