Kebijakan jam malam untuk pelajar yang diterapkan di Jawa Barat menuai kecaman dari Amnesty Internasional Indonesia. Direktur Eksekutifnya, Usman Hamid, menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia.
Usman Hamid menegaskan bahwa pembatasan hak kebebasan pribadi anak atas nama pendisiplinan tidak dibenarkan secara hukum. Kebijakan ini berpotensi menimbulkan diskriminasi dan stigma negatif bagi anak-anak yang terpaksa beraktivitas di malam hari. Menurutnya, alih-alih melindungi, kebijakan ini justru menciptakan perlakuan tidak setara dan pandangan buruk terhadap anak-anak yang berada di luar rumah pada malam hari.
Ancaman sanksi bagi pelanggar jam malam berupa pembinaan di barak militer juga dikecam. Usman Hamid menilai tindakan tersebut berpotensi menimbulkan trauma dan ketakutan yang berdampak buruk bagi kondisi psikis dan fisik anak. Ia mendesak pencabutan kebijakan tersebut dan mengimbau pemerintah untuk mencari pendekatan yang lebih manusiawi dan tidak represif. Pemerintah seharusnya menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak, bukan dengan membatasi ruang gerak mereka dengan aturan yang melanggar HAM.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebelumnya mengumumkan rencana penerapan sanksi tegas bagi pelajar yang melanggar jam malam. Siswa yang kedapatan berkeliaran pada malam hari akan "dibina" di barak militer. Data pelanggaran akan dikumpulkan melalui sistem aplikasi khusus yang memungkinkan pemantauan secara real-time dari berbagai sumber, termasuk polisi, bhabinkamtibmas, babinsa, serta laporan dari perangkat desa.
Kebijakan jam malam ini tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 51/PA.03/Disdik yang mulai berlaku sejak 1 Juni 2025. Surat edaran tersebut menginstruksikan bupati dan wali kota untuk mengoordinasikan pelaksanaan jam malam hingga tingkat kecamatan dan desa.