Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terus mendorong Apple untuk memindahkan produksi iPhone ke dalam negeri. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan tarif impor tinggi untuk produk-produk dari Cina. Pertanyaannya, berapa harga iPhone jika benar-benar diproduksi di Amerika?
Beberapa analis memberikan proyeksi yang berbeda-beda. Salah satu analis memperkirakan bahwa iPhone 16 Pro, yang saat ini dijual sekitar Rp 20,2 juta, bisa melonjak 25% menjadi Rp 25,2 juta jika dirakit di Amerika. Peningkatan harga ini sebagian besar disebabkan oleh biaya tenaga kerja yang lebih tinggi di AS. Diperkirakan biaya tenaga kerja untuk perakitan dan pengujian iPhone di AS bisa mencapai Rp 3,3 juta per unit, jauh lebih mahal dibandingkan di Cina yang hanya sekitar Rp 672 ribu.
Analis lain bahkan memperkirakan harga iPhone buatan Amerika bisa mencapai Rp 58,8 juta. Menurutnya, Apple perlu menggelontorkan dana sekitar Rp 480 triliun selama tiga tahun untuk memindahkan 10% rantai pasokannya ke AS.
Para ahli menilai bahwa iPhone ‘buatan Amerika’ akan menghadapi berbagai tantangan serius. Mulai dari mencari dan membayar tenaga kerja yang kompeten hingga biaya tarif yang harus ditanggung Apple untuk mengimpor komponen ke AS pada tahap perakitan akhir.
Karena berbagai kendala tersebut, banyak analis dan peneliti industri yang skeptis terhadap kemungkinan terwujudnya iPhone ‘buatan Amerika’. Mereka menilai hal ini sulit untuk diwujudkan.
Saat ini, Apple mendesain produknya di California, namun produksinya dialihdayakan kepada produsen kontrak seperti Foxconn, pemasok utama perusahaan tersebut. Bahkan jika Apple bersedia berinvestasi besar-besaran untuk memindahkan sebagian produksi iPhone ke AS, tetap dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun pabrik dan memasang mesin.
Selain itu, tidak ada jaminan bahwa kebijakan perdagangan Amerika tidak akan berubah di masa depan, yang dapat membuat investasi tersebut menjadi kurang menguntungkan. Saat ini, Apple memproduksi lebih dari 80% produknya di Cina.
CEO Apple, Tim Cook, pernah menjelaskan alasan mengapa perusahaan lebih memilih Cina daripada Amerika. Menurutnya, alasan utamanya bukan biaya tenaga kerja yang murah, melainkan keterampilan dan kuantitas tenaga kerja terampil yang tersedia di satu lokasi, serta jenis keterampilannya.
Buku biografi Steve Jobs juga mengungkap bahwa kekurangan tenaga insinyur terlatih di Amerika menjadi salah satu kendala utama. Apple membutuhkan puluhan ribu insinyur untuk mendukung tenaga kerja pabrik iPhone, dan jumlah ini sulit ditemukan di Amerika.
Walaupun demikian, Menteri Perdagangan AS optimistis bahwa banyak pekerja akan berbondong-bondong melamar pekerjaan di sektor manufaktur di Amerika jika produksi smartphone dibangun di negara ini.
Foxconn memproduksi iPhone dan produk Apple lainnya di pabrik-pabrik besar di Cina. Sistem ini memungkinkan Apple untuk memproduksi lebih dari 200 juta iPhone per tahun. Namun, kondisi kerja di Foxconn seringkali menjadi sorotan, termasuk masalah jam kerja yang panjang dan tekanan untuk bekerja lembur.
Terlepas dari kondisi kerja yang kurang ideal, upah pekerja di Cina jauh lebih rendah dibandingkan di Amerika. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat biaya tenaga kerja untuk perakitan iPhone di Cina jauh lebih murah dibandingkan di Amerika.
Pada tahun 2017, Trump mengumumkan investasi besar dari Foxconn untuk membangun pabrik di Wisconsin. Namun, proyek ini mengalami berbagai perubahan rencana dan tidak menghasilkan hasil yang diharapkan.
Karena berbagai alasan tersebut, para analis masih ragu terhadap kemungkinan terwujudnya keinginan Trump agar Apple memproduksi iPhone di Amerika.