Hiruk pikuk kota seringkali membuat kita lupa akan alam. Di tengah beton dan gedung pencakar langit, keberadaan kupu-kupu atau sekadar tanaman hijau menjadi pemandangan langka. Pengalaman ini membawa kita pada ironi kehidupan urban: semakin maju kota, semakin jauh pula kita dari prinsip dasar ilmu biologi.
Kota-kota tumbuh menjadi ekosistem buatan, di mana pohon ditebang untuk jalan, taman diganti bangunan tinggi, dan lahan hijau menjadi kawasan bisnis. Kita hidup dalam dunia beton tanpa kupu-kupu, burung, atau aroma tanah. Kondisi ini mencerminkan keterputusan mendalam antara manusia dan alam.
Penyair I Wayan Mardana Putra lewat puisinya "Sangkar Burung" mengingatkan kita akan polusi yang mengancam populasi dan pola pikir. Jantung kota semakin sesak, kotor oleh polusi dan pola pikir yang abai pada lingkungan.
Pola pikir di kota memengaruhi tanggung jawab kita terhadap alam. Kita adalah bagian dari ekosistem, bergantung pada udara bersih, air jernih, dan tanah subur. Ketika kota tak lagi memungkinkan interaksi ini, ia menjadi anti-biologis.
Fenomena keterasingan dari alam bukanlah hal baru. Kehidupan kota memaksa kita mengembangkan "saraf pelindung" dari alamiah. Kita menjadi tumpul terhadap suara burung, bau tanah, atau angin sore. Semua tergantikan oleh deru kendaraan, cahaya lampu buatan, dan aroma polusi.
Kondisi ini berdampak pada kesejahteraan psikologis dan fisiologis. Kurangnya interaksi dengan alam menyebabkan gangguan perhatian, stres, dan keterasingan sosial. Paparan alam memberikan dampak positif, seperti peningkatan fungsi kognitif, stabilitas tekanan darah, dan kesehatan mental.
Namun, alih-alih memperbaiki kondisi ini, kota justru memperparahnya. Tata ruang dirancang untuk efisiensi ekonomi, bukan konektivitas ekologis. Ruang hijau dipersempit menjadi taman estetika, jalan rindang digantikan trotoar kaku, dan lahan kosong menjadi apartemen atau gudang.
Permasalahan ini bukan sekadar perencanaan teknis, tetapi juga persoalan politik. Tata ruang kota adalah ekspresi dari nilai-nilai, kepentingan, dan kekuasaan. Kota yang mengabaikan proses biologis mencerminkan sistem politik-ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dibanding keberlanjutan kehidupan.
Kebijakan tata kota kerap berorientasi pada kepentingan elite ekonomi, dengan pembangunan kawasan hunian mewah, jalan tol, atau pusat belanja yang menggerus lahan produktif dan ekologis. Proyek tersebut diberi label "pembangunan" dan "modernisasi", padahal memuat konsekuensi berupa pengusiran spesies lain dan keterputusan manusia dari relasi ekologis.
Kota seharusnya dirancang dengan mempertimbangkan proses biologis. Singapura merancang jaringan taman dan atap hijau untuk habitat burung dan serangga. Di Jerman, urban gardening dan edible city mengintegrasikan produksi pangan ke dalam lanskap urban. Kota yang memberi ruang pada proses biologis lebih resilien terhadap perubahan iklim dan bencana.
Biologi adalah lensa untuk memahami bagaimana kehidupan dijalankan melalui keputusan-keputusan sosial dan politik. Kota-kota yang kita tempati saat ini, jika tidak direvisi secara radikal, akan mempercepat krisis ekologi, menggerus empati antarspesies, dan memiskinkan pengalaman hidup manusia.
Menempatkan pola pikir biologi dalam jantung politik kota adalah tindakan mendesak. Ini bukan sekadar romantisisme alam, tetapi soal keberlangsungan hidup yang adil dan sehat. Tanpa kupu-kupu, pepohonan, dan tanah, kita kehilangan bagian dari kemanusiaan kita. Pelajaran biologi erat dengan keseharian dan menyadarkan kita untuk bisa mengambil sikap politik.