Perundingan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali bergulir pada Senin (9 Juni 2025) di London. Pertemuan ini menjadi babak baru setelah perbincangan telepon antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping.
Sebelumnya, pada Mei 2025, kedua negara sempat sepakat menangguhkan tarif selama 90 hari. Namun, kesepakatan ini justru memunculkan isu baru: kendali China atas mineral langka dan aksesnya ke teknologi semikonduktor AS.
Ekspor mineral langka dan magnet dari China diprediksi menjadi fokus utama dalam perundingan di London. Para analis meyakini China akan mempertahankan kontrol strategisnya atas mineral langka yang sangat krusial bagi berbagai industri, mulai dari elektronik, otomotif, hingga sistem pertahanan.
"Dominasi China dalam pasokan mineral langka adalah alat strategis yang ampuh. Monopoli rantai pasokan mineral langka akan terus menjadi kartu truf penting dalam negosiasi perdagangan," ungkap seorang ekonom dari Morgan Stanley.
Setelah perundingan di Jenewa, Trump menuduh China menghalangi ekspor mineral langka, membatasi ekspor chip, dan mengancam visa pelajar China. Langkah ini memicu reaksi keras dari China, yang menganggap tindakan Trump sebagai pengingkaran janji perdagangan.
Delegasi AS yang dipimpin Menteri Keuangan Scott Bessent, Menteri Perdagangan Howard Lutnick, dan Perwakilan Perdagangan AS Jamieson Greer akan berhadapan dengan delegasi China yang dipimpin Wakil Perdana Menteri He Lifeng.
Sebelum pertemuan, China mengirim sinyal positif dengan menyatakan persetujuan atas sejumlah permohonan perdagangan yang sesuai. "China siap meningkatkan komunikasi dan dialog dengan negara-negara terkait pengendalian ekspor untuk memfasilitasi perdagangan yang sesuai," ujar juru bicara Kementerian Perdagangan China.
Pihak AS, melalui Kepala Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih, Kevin Hassett, menyatakan akan berupaya memulihkan aliran mineral langka. "Ekspor mineral penting telah ditingkatkan, namun belum mencapai tingkat yang disepakati di Jenewa," katanya.
Pada April 2025, China memberlakukan perizinan baru untuk tujuh mineral langka dan beberapa elemen magnet, yang mengharuskan eksportir mengajukan permohonan dan menyerahkan dokumentasi untuk setiap pengiriman. Lambatnya proses persetujuan ini memicu kekecewaan di Gedung Putih.
Mineral langka, yang sebenarnya lebih melimpah dari emas, sulit dan mahal untuk diekstraksi dan diproses. China menguasai 90% pemrosesan mineral langka secara global. Para ahli menduga China akan menggunakan pengaruhnya ini untuk memaksa AS melonggarkan kontrol ekspor semikonduktor dan teknologi terkait.
Beberapa pemasok China untuk perusahaan AS telah menerima lisensi ekspor selama enam bulan. Namun, seorang ekonom dari Capital Economics, Leah Fahy, berpendapat bahwa akses global ke mineral langka China kemungkinan akan lebih terbatas dibandingkan sebelum April. "China semakin tegas menggunakan kontrol ekspor untuk melindungi dan memperkuat posisi globalnya di sektor-sektor strategis," katanya.
Ekonomi China Terpukul
Perang tarif dengan AS berdampak signifikan pada ekonomi China. Data perdagangan menunjukkan ekspor China hanya naik 4,8% pada Mei 2025, jauh di bawah perkiraan. Ekspor ke AS bahkan mengalami penurunan tajam sebesar 34,5%.
Meskipun demikian, juru bicara Departemen Bea Cukai China, Lü Daliang, memuji ketahanan ekonomi China dalam menghadapi tantangan eksternal.
Tekanan deflasi juga menghantui ekonomi China. Indeks Harga Konsumen (IHK) turun 0,1% pada Mei 2025, sementara Indeks Harga Produsen (PPI) mengalami penurunan 3,3%, kontraksi tahunan terparah dalam 22 bulan.