Kebijakan tarif impor yang diterapkan Donald Trump sempat mengguncang dunia, memunculkan anggapan bahwa ia adalah pendukung proteksionisme. Namun, seorang ekonom senior yang pernah dekat dengan Trump memiliki pandangan berbeda.
Menurutnya, langkah Trump ini justru bertujuan membuka jalan menuju perdagangan yang lebih bebas. Ia meyakini bahwa tarif dan sikap proteksionis yang diterapkan Trump adalah strategi untuk mendorong negara-negara lain, terutama China, agar bersedia bernegosiasi dan menuju perdagangan yang lebih terbuka.
Proteksionisme sendiri merupakan momok bagi perekonomian global. Pembatasan impor dan ekspor oleh suatu negara dapat menyebabkan kerugian bagi semua pihak. Sejarah mencatat, ketika AS menerapkan tarif Smoot-Hawley pada tahun 1930-an untuk melindungi industri dalam negeri, negara lain membalas dengan tindakan serupa, yang berujung pada depresi ekonomi yang parah. Hal serupa terjadi pada tahun 1970-an, ketika upaya perbaikan neraca perdagangan yang defisit justru memperburuk kondisi ekonomi.
Sebaliknya, periode ketika AS menerapkan kebijakan perdagangan yang lebih bebas, seperti di era John F. Kennedy, Ronald Reagan, dan Bill Clinton, justru menghasilkan kemakmuran.
Setelah Trump mengumumkan kebijakan tarifnya, banyak negara mulai membuka jalur komunikasi. China, meskipun awalnya membalas dengan tarif, akhirnya bersedia bernegosiasi. Hal ini memunculkan harapan akan perbaikan ekonomi di masa depan.
Ke depan, diharapkan semakin banyak negara yang menurunkan tarif, mengurangi hambatan proteksionis seperti hambatan non-tarif dan kuota. Langkah ini akan menciptakan rantai pasokan yang lebih efisien, kerja sama internasional yang lebih kuat, dan integrasi ekonomi yang lebih baik. Dengan demikian, kebijakan yang awalnya terlihat proteksionis justru bisa menjadi katalisator bagi perdagangan yang lebih bebas dan menguntungkan bagi semua pihak.