"Penyakit paling berbahaya adalah yang berkembang tanpa kita sadari dalam kebiasaan sehari-hari."
Stroke, yang dulu dianggap sebagai penyakit orang tua, kini semakin mengintai masyarakat Indonesia, termasuk mereka yang masih berada di usia produktif. Gaya hidup modern yang serba cepat dan kurangnya perhatian terhadap kesehatan menjadi pemicu utama.
Data Survei Kesehatan Indonesia (Riskesdas) menunjukkan bahwa stroke adalah penyebab utama kecacatan dan kematian di Indonesia, dengan prevalensi 8,3 per 1.000 penduduk. Lebih mengkhawatirkan lagi, tren ini meningkat di kalangan usia produktif, bukan hanya karena faktor genetik atau penuaan, tetapi juga akibat pilihan gaya hidup yang kurang sehat.
Artikel ini menyoroti stroke bukan hanya sebagai masalah medis, tetapi sebagai akibat dari pola hidup yang keliru. Berikut adalah lima perspektif kritis yang perlu diperhatikan:
1. Jebakan Kenyamanan Modern
Kemudahan yang ditawarkan teknologi seperti transportasi daring dan layanan antar instan membuat kita semakin jarang bergerak. Kurangnya aktivitas fisik dapat menurunkan elastisitas pembuluh darah dan memicu hipertensi. Studi menunjukkan peningkatan prevalensi stroke pada usia 35-50 tahun, usia yang seharusnya paling produktif.
Solusinya adalah intervensi berbasis komunitas dan kebijakan publik, seperti kampanye aktivitas fisik di tempat kerja, insentif pajak untuk perusahaan yang mendukung olahraga karyawan, dan penyediaan ruang publik untuk beraktivitas.
2. Produktivitas Berlebihan dan Kurang Tidur
Masyarakat cenderung mengagungkan kelelahan dan menganggap tidur sebagai kemewahan. Padahal, kurang tidur meningkatkan kadar kortisol dan tekanan darah, yang merupakan faktor risiko stroke.
Perlu ada perubahan budaya. Media, pendidikan, dan tempat kerja harus menormalisasi istirahat sebagai bagian penting dari produktivitas. Keseimbangan antara kerja dan hidup harus diukur dengan indikator kesehatan, bukan hanya target pekerjaan.
3. Kurangnya Kesadaran Gejala Awal
Gejala stroke seperti wajah yang tidak simetris, kesulitan berbicara, atau kelemahan pada satu sisi tubuh seringkali diabaikan. Banyak pasien datang terlambat ke rumah sakit, padahal kecepatan penanganan sangat penting untuk meminimalkan kerusakan otak.
Literasi kesehatan yang rendah menjadi penyebab utama. Penyuluhan kesehatan harus diperluas melalui media digital, tempat ibadah, dan komunitas lokal. Pemerintah daerah dapat menerapkan program deteksi dini mobile di pasar, sekolah, dan tempat kerja. Kampanye "FAST" (Face-Arms-Speech-Time) perlu digencarkan.
4. Pencegahan yang Terabaikan
Pencegahan stroke, seperti pemeriksaan tekanan darah, kolesterol, dan gula darah secara rutin, seringkali terabaikan. Padahal, tindakan ini dapat menurunkan risiko stroke hingga 80%. Pelayanan kesehatan primer masih lebih fokus pada pengobatan daripada pencegahan.
Sistem kesehatan perlu diubah agar lebih mengutamakan pencegahan. Fasilitas kesehatan yang aktif melakukan deteksi dini dan edukasi harus diberi penghargaan.
5. Stroke: Refleksi Masyarakat
Peningkatan angka stroke adalah pertanda adanya masalah dalam ekosistem sosial. Masyarakat menuntut segalanya serba cepat, tetapi lupa bahwa tubuh manusia memiliki batas. Stroke adalah gejala sosial yang menandakan kurangnya ruang untuk istirahat, minimnya dukungan psikis, dan norma kerja yang berlebihan.
Solusinya adalah membangun nilai-nilai hidup sehat dalam masyarakat. Kampanye nasional harus melibatkan media, pendidikan, dan agama untuk membangun narasi bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap warga negara dan menjaga kesehatan adalah bentuk cinta pada keluarga.
Stroke bukan lagi masalah lansia, tetapi ancaman bagi kelompok usia produktif. Ini adalah peringatan keras atas gaya hidup dan sistem sosial yang kita jalani. Di dunia yang terus menuntut lebih, menjaga tubuh adalah bentuk keberanian melawan arus.
"Tubuh kita merekam setiap kebiasaan—baik atau buruk."