Ketegangan di Timur Tengah mencapai titik didih setelah Israel dan Iran saling melancarkan serangan militer pada Sabtu (14/6/2025). Eskalasi ini menimbulkan kecemasan global akan potensi perang regional yang meluas, terutama setelah Israel menargetkan fasilitas energi utama Iran, ladang gas South Pars.
Iran segera membatalkan negosiasi nuklir dengan Amerika Serikat, yang sebelumnya dipandang sebagai satu-satunya harapan diplomatik untuk menghentikan agresi Israel.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memperingatkan bahwa serangan yang terjadi "belum sebanding dengan apa yang akan dihadapi Iran dalam beberapa hari mendatang."
Militer Israel mengonfirmasi bahwa lebih banyak rudal diluncurkan dari Iran ke wilayah Israel pada Sabtu malam. Mereka menyatakan sedang melakukan pencegatan sambil terus menyerang target militer di Teheran. Televisi pemerintah Iran juga melaporkan bahwa Iran telah menembakkan rudal dan drone ke Israel.
Beberapa proyektil terlihat di langit Yerusalem, meskipun sirene peringatan serangan udara tidak terdengar di kota itu. Namun, sirene meraung di kota Haifa, Israel utara.
Layanan ambulans Israel melaporkan satu wanita berusia 20-an tewas dan 13 lainnya terluka setelah rudal menghantam rumah dua lantai di wilayah utara Israel. Iran mengklaim bahwa depo minyak Shahran di Teheran terkena serangan, tetapi situasinya terkendali.
Presiden AS Donald Trump mengeluarkan peringatan keras kepada Iran tentang kemungkinan serangan yang lebih besar, tetapi juga membuka jalan bagi solusi diplomatik jika Iran bersedia "secara drastis menurunkan tingkat program nuklirnya."
Perundingan nuklir antara AS dan Iran yang dijadwalkan di Oman pada hari Minggu akhirnya dibatalkan. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, menegaskan bahwa "tidak mungkin melakukan pembicaraan sementara Iran terus menjadi sasaran serangan barbar Israel."
Serangan Israel pada hari Sabtu menandai perubahan strategi dengan menargetkan infrastruktur energi. Kantor berita semi-resmi Tasnim melaporkan bahwa produksi di ladang gas South Pars, fasilitas gas terbesar di dunia, sempat dihentikan sebagian karena kebakaran akibat serangan Israel.
Ketakutan pasar atas potensi gangguan ekspor minyak dari kawasan ini telah memicu lonjakan harga minyak hingga 9% pada hari Jumat.
Seorang jenderal Iran, Esmail Kosari, mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan opsi untuk menutup Selat Hormuz, jalur vital bagi ekspor minyak global, sebagai respons terhadap serangan ini.
Pemerintah Iran mengungkap bahwa 78 orang tewas pada hari pertama serangan Israel. Pada hari kedua, jumlah korban meningkat, termasuk 60 orang tewas ketika rudal menghancurkan apartemen 14 lantai di Teheran. Dari jumlah itu, 29 korban adalah anak-anak. Iran juga melaporkan tiga orang tewas dalam serangan balasan rudal mereka ke Israel pada Jumat malam.
Netanyahu menyerukan rakyat Iran untuk memberontak melawan rezim ulama yang berkuasa. "Operasi ini akan berlangsung selama beberapa minggu. Kami tidak akan berhenti sampai ancaman terhadap Israel dihapuskan," kata Netanyahu.
Organisasi HAM Israel, B’Tselem, mengkritik tindakan pemerintah Israel. "Alih-alih menempuh semua jalur diplomatik, pemerintah memilih perang yang mempertaruhkan nyawa seluruh kawasan," kata organisasi tersebut.
Iran memperingatkan bahwa negara-negara sekutu Israel juga akan menjadi sasaran jika mereka ikut campur atau membantu mencegat rudal Iran. Namun, kemampuan Iran untuk membalas dianggap terbatas setelah dua proksi terkuatnya di kawasan, Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon, mengalami kemunduran signifikan.
Israel berdalih bahwa serangannya diperlukan untuk menghentikan Iran yang dianggap sedang berada di ambang memproduksi senjata nuklir. Militer Israel menyatakan, "Serangan ini dirancang untuk menggagalkan langkah terakhir Iran menuju produksi senjata nuklir."
Iran membantah tuduhan tersebut dan bersikukuh bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan sipil. Namun, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) melaporkan pada pekan ini bahwa Iran telah melanggar kewajiban berdasarkan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT).