Dinas Kesehatan (Dinkes) Boyolali mencatat penurunan signifikan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) sepanjang Januari hingga pertengahan Juni 2025. Meskipun begitu, masyarakat tetap diimbau untuk meningkatkan kewaspadaan.
Tercatat 287 kasus DBD, termasuk 2 kasus Dengue Shock Syndrome (DSS), dengan tiga kematian. Dua kasus kematian terjadi pada Januari di Kecamatan Cepogo dan Mojosongo, serta satu kasus lainnya di Mojosongo.
Puji Astuti, Kepala Dinkes Boyolali, mengungkapkan bahwa angka ini jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Pada Januari-Juni 2024, tercatat total delapan kasus kematian akibat DBD, dengan jumlah kasus bulanan yang lebih tinggi secara signifikan.
Penurunan ini diduga karena kondisi cuaca yang tidak seekstrem tahun sebelumnya. Meski demikian, perubahan cuaca ekstrem yang cepat dari panas ke hujan tetap menjadi perhatian.
Dinkes Boyolali terus menggalakkan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) sebagai cara paling efektif mencegah DBD. PSN berfokus pada membasmi jentik nyamuk agar tidak berkembang menjadi nyamuk dewasa penyebab DBD.
Selain PSN, Dinkes juga mendorong Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Namun, mengubah pemahaman masyarakat yang cenderung mengandalkan fogging masih menjadi tantangan. Fogging hanya membunuh nyamuk dewasa, sementara jentik nyamuk tetap hidup dan berpotensi berkembang biak.
Pada tahun 2025, kasus DBD tidak terlalu dominan di wilayah Boyolali utara, berbeda dengan tahun sebelumnya di mana wilayah ini mencatat angka kematian tertinggi. Hal ini mengindikasikan peningkatan kesadaran masyarakat akan PHBS di wilayah tersebut.
Kesadaran untuk tidak berganti-ganti dokter dan jujur mengenai penyakit juga berkontribusi dalam meminimalkan fatalitas kasus DBD.
Kecamatan Teras menjadi wilayah dengan kasus DBD tertinggi (54 kasus), diikuti oleh Ampel (12 kasus), Cepogo (22 kasus dan 1 meninggal), dan Sambi (36 kasus). Sementara itu, beberapa kecamatan lain mencatat angka kasus yang lebih rendah atau bahkan nol kasus.