Di era serba digital ini, aplikasi dengan filter telah mengubah cara kita melihat diri sendiri. Fenomena yang disebut "Snapchat Dysmorphia" muncul, dimana seseorang berkeinginan mengubah penampilannya agar mirip dengan versi dirinya yang sudah diedit oleh filter.
Awalnya, fenomena ini terdeteksi pada 2018, ketika sejumlah ahli bedah plastik melaporkan peningkatan permintaan operasi plastik yang tidak biasa. Pasien, khususnya kaum muda, ingin memiliki kulit mulus, bibir penuh, dan mata besar seperti yang mereka lihat di foto hasil filter. Mereka bahkan membawa foto hasil editan sebagai referensi operasi.
"Snapchat Dysmorphia" memiliki kaitan erat dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD), gangguan mental yang membuat seseorang terobsesi dengan kekurangan pada penampilannya, baik nyata maupun hanya dalam imajinasi. BDD dapat mengganggu kehidupan sosial dan psikologis. Pemicunya pun bergeser, bukan hanya dari citra selebriti, tetapi juga dari wajah kita sendiri yang sudah dimodifikasi teknologi.
Teknologi yang seharusnya membebaskan ekspresi diri justru menjebak dalam ilusi. Batas antara realitas dan estetika digital semakin kabur. Media sosial menjadi arena perbandingan tanpa henti, membentuk ekspektasi tidak realistis tentang tubuh dan wajah.
Solusi untuk masalah ini membutuhkan peran aktif dari berbagai pihak: dunia pendidikan, keluarga, dan pembuat kebijakan. Penting untuk meningkatkan literasi digital dan kesadaran kesehatan mental sejak dini. Masyarakat perlu belajar menerima ketidaksempurnaan, dan media sosial harus dikembalikan fungsinya sebagai alat untuk terhubung, bukan sebagai cermin yang melukai.