Fadli Zon Angkat Bicara Soal Kontroversi Pernyataan Kasus Mei 1998

Jakarta – Menteri Kebudayaan Fadli Zon akhirnya merespons kecaman yang dilayangkan kepadanya terkait pernyataannya mengenai kasus pemerkosaan pada kerusuhan Mei 1998 yang disebutnya tidak terbukti.

Fadli mengapresiasi perhatian publik terhadap sejarah. Ia mengakui bahwa tragedi pemerkosaan dan kekerasan massal terhadap perempuan pada kerusuhan 13-14 Mei 1998 masih menjadi perdebatan. Menurutnya, investigasi dari media terkemuka belum menemukan fakta otoritatif terkait insiden tersebut. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pun hanya menyebutkan angka tanpa data pendukung yang kuat, seperti nama korban, waktu, tempat kejadian, atau pelaku.

Meskipun demikian, Fadli menegaskan bahwa dirinya mengutuk segala bentuk perundungan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Ia membantah bahwa pernyataannya bertujuan untuk meniadakan penderitaan korban. Baginya, kekerasan seksual adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan yang mendasar dan harus menjadi perhatian serius.

Fadli menegaskan bahwa ia tidak menyangkal adanya kekerasan seksual. Ia hanya menekankan pentingnya fakta hukum dan bukti yang teruji secara akademik dan legal dalam sejarah. Ia juga membantah adanya penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia yang sedang digarap oleh Kementerian Kebudayaan. Sebaliknya, buku tersebut justru memperkuat pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.

Penulisan buku tersebut akan berlangsung hingga Mei 2025, dan pembahasan mengenai gerakan, kontribusi, peran, serta isu-isu perempuan telah diakomodasi secara substansial. Tema-tema yang dibahas meliputi kemunculan organisasi perempuan pada masa kebangkitan nasional, kontribusi perempuan dalam perjuangan diplomasi dan militer, dinamika perempuan dari masa ke masa, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, hingga pemberdayaan dan kesetaraan gender dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Fadli menambahkan bahwa pihaknya akan mengadakan diskusi publik terbuka untuk menerima masukan dari berbagai kalangan, termasuk tokoh dan komunitas perempuan, akademisi, dan masyarakat sipil.

Sebelumnya, pernyataan Fadli dalam sebuah wawancara menuai kritik keras. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) menilai pernyataan Fadli sebagai bentuk penyangkalan ganda. Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menilai pernyataan tersebut sebagai bentuk manipulasi sejarah dan pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi.

Scroll to Top