Bahaya Tersembunyi di Balik Popularitas Anak-Anak di Media Sosial: Mengapa Dokumenter Netflix "Bad Influence" Jadi Sorotan

Dunia maya, dengan segala kemudahan dan peluangnya, ternyata menyimpan sisi gelap yang mengintai anak-anak. Dokumenter terbaru Netflix, "Bad Influence: The Dark Side of Kidfluencing," membuka mata kita terhadap bahaya menjadi seorang kidfluencer atau influencer anak. Mengapa fenomena ini begitu meresahkan?

Di era media sosial, popularitas daring menjadi incaran banyak orang, termasuk anak-anak yang haus perhatian. Survei menunjukkan bahwa sepertiga anak-anak menganggap ketenaran di media sosial itu penting, bahkan lebih dari separuhnya meyakini bahwa popularitas itu "sangat penting" untuk kesuksesan foto-foto mereka di masa depan.

Namun, ambisi ini bisa membawa mereka ke jurang yang berbahaya. Apa yang awalnya merupakan upaya orang tua untuk membantu anak-anak meraih karier, bisa dengan cepat berubah menjadi dunia kelam yang dikuasai oleh orang dewasa, terutama pria.

Investigasi mengungkap bagaimana media sosial membentuk ulang masa kanak-kanak dengan dorongan dan keterlibatan langsung dari orang tua. Dari ribuan akun influencer anak yang dikelola ibu-ibu, ditemukan jutaan pengikut pria dewasa. Analisis gambar menunjukkan bahwa foto-foto yang bernada sugestif cenderung mendapatkan lebih banyak likes dan komentar.

Interaksi dengan audiens yang didominasi pria membuka celah bagi pelecehan anak. Para pria memanfaatkan situasi ini untuk "menyanjung, menggertak, dan memeras" anak-anak dan orang tua mereka demi mendapatkan gambar-gambar yang cabul. Bahkan, ada yang secara terang-terangan mengakui ketertarikan seksual mereka terhadap anak-anak, menganggap orang tua menyediakan "makanan gratis" untuk fantasi mereka.

Orang tua seringkali kesulitan melindungi anak-anak mereka dari sisi gelap media sosial. Popularitas yang sudah dirasakan membuat mereka kebingungan dan cenderung melanggengkan praktik ini.

Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya?

Mengingat luas dan bebasnya media sosial, sebaiknya hindari menjadikan anak sebagai influencer. Hal ini bukan hanya memberikan "konsumsi" bagi para pengidap penyimpangan seksual, tetapi juga berdampak buruk bagi kesehatan mental anak.

Para ahli berpendapat bahwa influencer muda lebih berisiko mengalami masalah dibandingkan anak-anak yang akses media sosialnya dibatasi. Kehidupan mereka terus-menerus disiarkan dan diamati oleh jutaan orang di seluruh dunia.

Membatasi waktu di media sosial adalah salah satu solusi. Dengan demikian, anak-anak bisa lebih menikmati momen dan tidak perlu terbebani untuk memenuhi standar tertentu demi menjadi terkenal.

Penting untuk menggunakan media sosial secara positif dan menjadi pengaruh yang baik bagi orang lain, terutama bagi remaja dan anak-anak muda.

Scroll to Top