Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dipandang sebagai langkah krusial dalam membenahi tata kelola industri sawit dari hulu hingga hilir. Kebijakan ini diharapkan memberikan kepastian investasi yang lebih jelas bagi para pelaku usaha.
Menurut keterangan resmi, penertiban penguasaan lahan adalah bagian dari upaya besar untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, dengan fokus utama pada perbaikan tata kelola perkebunan sawit secara nasional.
Kehadiran Satuan Tugas (Satgas) PKH seharusnya dilihat sebagai hal positif oleh investor. Dengan adanya penertiban ini, praktik-praktik ilegal dapat diminimalisir. Investor yang memiliki izin lengkap dan legalitas yang baik dapat menjalankan bisnis dengan tenang, tanpa perlu melakukan cara-cara tidak terpuji.
Beberapa kasus menunjukkan lemahnya pengawasan negara terhadap aset. Contohnya, 48.000 hektare lahan di Sumatera Utara yang telah dieksekusi sejak 2009 hingga saat ini belum kembali dikelola oleh negara. Selain itu, di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), luas kawasan hutan menyusut drastis dari 120.000 hektare menjadi hanya sekitar 24.000 hektare.
Meski demikian, masukan dari kalangan akademisi dan masyarakat sipil tetap menjadi perhatian penting. Evaluasi terhadap mekanisme kerja Satgas PKH diperlukan agar semakin transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepastian hukum.
Setelah aset berhasil dikembalikan, akan dibentuk tim pengelolaan dan komersialisasi yang bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan. Tim ini akan mengkaji peruntukan lahan tersebut, apakah tetap menjadi hutan atau dapat dialihfungsikan untuk perkebunan sawit.