Jakarta – Industri batu bara Indonesia menghadapi tantangan serius di masa depan. Laporan terbaru dari Energy Shift Institute (ESI) mengungkapkan bahwa permintaan batu bara dari negara-negara pengimpor utama seperti China dan India diperkirakan akan mengalami penurunan dalam beberapa tahun mendatang.
Pergeseran ini didorong oleh meningkatnya penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai bagian dari upaya global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Di China, meskipun permintaan listrik terus meningkat, pertumbuhan pembangkit listrik tenaga batu bara telah melambat sejak awal 2010-an. Data menunjukkan bahwa energi bersih memenuhi sebagian besar pertumbuhan permintaan listrik di negara tersebut pada tahun 2024.
Tren serupa juga mulai terlihat di India, meskipun adopsi energi bersih berjalan lebih lambat. Walaupun batu bara masih menjadi penyokong utama pertumbuhan permintaan listrik, arah pergeseran ke energi bersih semakin jelas. Jika tren ini berlanjut, ekspor batu bara Indonesia berpotensi stagnan atau bahkan menurun dalam jangka panjang.
Presiden China juga menegaskan komitmen terhadap target iklim dan penggunaan energi bersih, menandakan bahwa ketergantungan pada batu bara akan mencapai titik jenuh dan mulai menurun. Kondisi ini memaksa produsen batu bara Indonesia untuk tidak mengabaikan perubahan tren jangka panjang yang semakin nyata.
Selain faktor eksternal, kebijakan domestik seperti peningkatan royalti, kewajiban hilirisasi batu bara, dan kewajiban pasokan domestik (DMO) juga memberikan tekanan pada sektor ini. Kombinasi kebijakan ini, meskipun bertujuan baik, dapat menggerus margin laba, mempersempit ruang keuangan, dan mengurangi insentif untuk diversifikasi atau transisi ke energi yang lebih berkelanjutan.
Sayangnya, sebagian besar perusahaan batu bara di Indonesia belum memiliki rencana transisi atau diversifikasi yang kredibel. Kurangnya komitmen nyata untuk beralih dari batu bara meningkatkan risiko transisi sektor ini, yang akan menjadi fokus utama dalam penelitian lanjutan.