Rupiah dan Mata Uang Asia Terkapar Dihantam Dolar AS: Konflik Timur Tengah dan Sikap The Fed Jadi Biang Keladi

Jakarta – Mayoritas mata uang di kawasan Asia mengalami tekanan hebat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada hari ini, Kamis (19 Juni 2025). Pemicunya adalah ketegangan yang semakin meruncing di Timur Tengah, serta sinyal kehati-hatian bank sentral AS (The Fed) terkait penurunan suku bunga.

Berdasarkan data terkini, hampir seluruh mata uang Asia mengalami pelemahan, dengan pengecualian yen Jepang yang justru menguat. Baht Thailand menjadi mata uang dengan penurunan terdalam, diikuti oleh rupiah. Mata uang China (yuan), ringgit Malaysia, dan dolar Singapura juga ikut tertekan.

Eskalasi konflik geopolitik antara Israel dan Iran turut memperburuk sentimen pasar. Dukungan dari negara-negara G7 kepada Israel membuat ketidakpastian dan kekhawatiran investor semakin meningkat.

Situasi perang yang memanas mendorong investor untuk menarik dana dari pasar negara berkembang (Emerging Markets) dan kembali berinvestasi di AS. Akibatnya, dolar AS menguat tajam, mencapai level tertinggi dalam sepekan terakhir.

Selain faktor geopolitik, keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga acuannya di kisaran 4,25-4,50% turut memberikan dorongan bagi penguatan dolar AS. Keputusan ini diambil setelah The Fed mempertahankan suku bunga selama empat kali berturut-turut sejak terakhir kali menurunkan suku bunga pada Desember 2024.

Dalam pernyataannya, The Fed memperkirakan inflasi akan tetap tinggi, sementara pertumbuhan ekonomi melambat. Meskipun demikian, proyeksi "dot plot" dari Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) masih mengindikasikan adanya potensi penurunan suku bunga sebanyak dua kali pada tahun ini.

Namun, terdapat perubahan signifikan dalam pandangan para anggota FOMC. Tujuh dari 19 anggota kini tidak memperkirakan adanya pemangkasan suku bunga sama sekali, meningkat dari empat orang pada pertemuan sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya pergeseran sikap sebagian anggota FOMC yang mulai menilai bahwa kondisi ekonomi mungkin tidak mendukung penurunan suku bunga lebih lanjut.

FOMC juga merevisi proyeksi pemangkasan suku bunga untuk tahun 2026 dan 2027, mengurangi jumlah pemangkasan yang diperkirakan sebelumnya menjadi total empat kali, atau setara dengan satu poin persentase penuh.

"Dot plot" ini mencerminkan ketidakpastian yang terus berlanjut di antara para pejabat The Fed mengenai arah kebijakan suku bunga di masa depan. Perbedaan pandangan yang signifikan terlihat jelas, dengan proyeksi tingkat suku bunga sekitar 3,4% pada tahun 2027.

Khusus untuk rupiah, keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 17-18 Juni 2025 yang mempertahankan BI-Rate sebesar 5,50% juga menjadi faktor yang memengaruhi pelemahan mata uang Garuda.

Sejalan dengan keputusan ini, BI juga mempertahankan suku bunga Deposit Facility pada level 4,75% dan suku bunga Lending Facility tetap di level 6,25%.

Scroll to Top