Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, memberikan klarifikasi terkait pernyataannya mengenai kedudukan MoU Helsinki dalam sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara yang sempat menimbulkan polemik. Ia mengimbau masyarakat Aceh untuk tidak salah menafsirkan maksud dari penjelasannya.
Dalam pertemuan dengan tokoh masyarakat Indonesia di Sydney, Australia, Yusril menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang meremehkan peran penting MoU Helsinki sebagai landasan penyelesaian konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia.
Yusril, yang menjabat sebagai Mensesneg saat perundingan Helsinki berlangsung, mengaku terlibat langsung dalam pembahasan internal pemerintah dan tim perunding, termasuk dalam menindaklanjuti hasil MoU. Bersama dengan Mendagri (Alm) Mohammad Ma’ruf, ia ditugaskan oleh Presiden untuk membahas RUU Pemerintahan Aceh dengan DPR hingga selesai.
Ia menekankan bahwa semangat MoU Helsinki menjadi titik awal penyelesaian masalah antara pemerintah pusat dan Aceh. Namun, dalam konteks sengketa empat pulau, rujukan langsung tidak dapat sepenuhnya mengandalkan MoU Helsinki dan UU No. 24 Tahun 1956.
"MoU Helsinki menegaskan wilayah Aceh mengacu pada UU No. 24 Tahun 1956, namun undang-undang tersebut hanya menyebutkan kabupaten-kabupaten yang termasuk wilayah Aceh, tanpa menyinggung status empat pulau tersebut," jelas Yusril.
Menurutnya, penentuan batas wilayah provinsi, kabupaten, dan kota harus mengacu pada ketentuan yang lebih baru, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini menegaskan bahwa batas daerah diputuskan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri, terutama jika undang-undang pembentukan daerah otonom baru tidak secara eksplisit menetapkan batas-batas koordinat wilayahnya.
Yusril merasa heran dengan tuduhan bahwa dirinya tidak menghargai MoU Helsinki, yang menurutnya tidak berdasar.
Terkait keputusan Presiden Prabowo Subianto, Yusril menjelaskan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada dokumen kesepakatan antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar pada tahun 1992, yang dibuat atas arahan Presiden Soeharto dan Mendagri Rudini. Kesepakatan ini dibuat sebelum adanya MoU Helsinki dan dapat menjadi rujukan detail dalam menyelesaikan masalah.
Yusril menegaskan bahwa komitmennya untuk membantu masyarakat Aceh tidak pernah berubah, sejak pertama kali diperkenalkan oleh gurunya, Prof. Osman Raliby, kepada Tengku Muhammad Daoed Beureueh pada tahun 1978. Ia juga yang mengusulkan nama Nanggroe Aceh Darussalam dan keberadaan Qanun Aceh untuk mengimplementasikan syariat Islam di Aceh sebelum adanya MoU Helsinki.