Situasi di Iran memanas seiring berlanjutnya konflik dengan Israel. Akses internet di banyak wilayah terputus atau sangat terbatas, bahkan panggilan telepon pun seringkali gagal tersambung. Kehidupan sehari-hari warga Iran terasa seperti berada dalam situasi perang.
Serangan skala besar Israel pada Jumat, 13 Juni lalu, menargetkan program nuklir Iran, melumpuhkan telekomunikasi di Teheran dan wilayah lainnya. Iran merespons dengan serangan rudal ke kota-kota di Israel.
Warga Iran membagikan video dampak serangan rudal Israel. Banyak yang mengabaikan panduan keamanan pemerintah, merasa negara tak mampu melindungi mereka. Di Iran, internet dianggap sebagai "musuh" oleh aparat keamanan yang berusaha mengendalikannya. Padahal, internet sangat dibutuhkan sebagai sarana komunikasi, terutama di tengah konflik.
Walau akses dibatasi, masyarakat Iran berupaya saling membantu. Perusahaan rintisan menawarkan layanan gratis, seperti pencarian apartemen di luar Teheran atau informasi VPN untuk mengakses berita. Ada pula yang menawarkan tumpangan bagi warga yang ingin meninggalkan ibu kota.
Pengguna internet lainnya menawarkan bantuan melalui media sosial. Fotografer dan penulis perjalanan menawarkan bantuan belanja atau kunjungan bagi lansia yang tinggal di Teheran. Dokter membagikan nomor telepon mereka untuk konsultasi medis dan resep. Petugas pemadam kebakaran mengunggah foto untuk meyakinkan publik bahwa mereka tetap bertugas.
Di tengah situasi genting, banjir informasi palsu juga melanda. Klaim palsu tentang aplikasi mata-mata atau cara mengakses Starlink menyebar dengan cepat. Padahal, penggunaan Starlink membutuhkan parabola, dan aplikasi yang beredar justru berbahaya.
Rezim Iran menghadapi tantangan berat. Krisis transnasional ini berbeda dengan protes dalam negeri yang selama ini mereka hadapi. Pengalaman menekan protes tak relevan dalam menghadapi lawan eksternal. Aparat keamanan tampak kewalahan dan terkejut.
Sementara itu, video propaganda dari loyalis rezim beredar, mencoba meremehkan serangan Israel. Tokoh-tokoh agama memainkan peran penting dalam upaya propaganda ini, menargetkan anggota sistem politik yang moralnya mulai goyah. Rezim menyebarkan disinformasi untuk membangkitkan kembali kepercayaan dan loyalitas di kalangan internal, meskipun realitasnya jauh berbeda.