Di tengah ketidakpastian ekonomi global, para investor umumnya berlomba mencari aset-aset yang dianggap aman. Emas, dengan reputasinya sebagai pelindung nilai investasi, selalu menjadi primadona, terutama di tengah kebijakan tarif tinggi yang diterapkan.
Namun, pandangan berbeda datang dari Goldman Sachs. Mereka justru menjagokan Yen Jepang (JPY) sebagai "safe haven" utama. Goldman Sachs memprediksi mata uang Negeri Sakura ini akan menguat hingga mencapai level 140 per dolar AS pada tahun ini. Proyeksi ini jauh lebih optimis dibandingkan perkiraan pasar secara umum, yang berada di kisaran 145.
Sementara itu, harga emas terus meroket, bahkan sempat menyentuh rekor tertinggi di angka US$3.128,06 per ons. Kenaikan ini juga memicu lonjakan harga logam mulia lainnya seperti perak, paladium, dan platinum. Goldman Sachs, Bank of America (BofA), dan UBS beramai-ramai menaikkan target harga emas mereka. Goldman Sachs kini memproyeksikan harga emas akan mencapai US$3.300 per ons pada akhir tahun, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
Meski emas masih menjadi favorit, Yen Jepang kini dianggap sebagai alternatif menarik untuk melindungi investasi dari potensi resesi ekonomi di Amerika Serikat.
Kamakshya Trivedi, kepala strategi global di Goldman Sachs, berpendapat bahwa Yen adalah lindung nilai yang efektif ketika suku bunga riil dan harga saham AS mengalami penurunan secara bersamaan. Menurutnya, Yen saat ini menjadi pilihan yang lebih menarik untuk mengantisipasi perlambatan ekonomi AS.
Rekomendasi dari Goldman Sachs ini muncul di tengah kekhawatiran pasar terhadap dampak kebijakan tarif Presiden Donald Trump terhadap perekonomian AS. Beberapa pihak, termasuk Morgan Stanley dan mantan pejabat The Fed, telah memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia itu.
Di sisi lain, Bank of Japan (BoJ) tengah bersiap untuk memperketat kebijakan moneternya. Sebagian besar ekonom memperkirakan bahwa kenaikan suku bunga berikutnya akan dilakukan pada bulan Juni atau Juli mendatang.
Goldman Sachs juga merevisi proyeksi kebijakan suku bunga The Fed, dari yang sebelumnya memperkirakan dua kali pemangkasan menjadi tiga kali pada tahun ini. Perubahan ini didorong oleh kekhawatiran bahwa tarif Trump akan semakin menekan perekonomian AS.
Meskipun ancaman tarif cukup besar, Trivedi menilai bahwa data ekonomi AS, khususnya angka ketenagakerjaan, akan menjadi faktor kunci bagi pergerakan dolar. Jika data ketenagakerjaan AS menunjukkan sinyal pelemahan, maka Yen akan menjadi sorotan utama bagi investor pasar valuta asing.
Namun, Yen juga memiliki risiko tersendiri. Mata uang ini telah melemah dalam empat tahun terakhir akibat perbedaan suku bunga yang lebar dengan AS dan sempat menyentuh level terendah sejak 1986. Kendati demikian, posisi jual Yen oleh hedge fund mulai menyusut tahun ini, dan pasangan dolar-Yen diperkirakan akan melemah lebih lanjut seiring rencana BoJ untuk mengurangi pembelian obligasi jangka panjang.