Perdebatan mengenai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) kembali mencuat. Seorang pakar hukum terkemuka menyoroti potensi masalah dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, yang menurutnya dapat menimbulkan interpretasi yang terlalu luas, bahkan berpotensi menjerat pedagang kecil seperti penjual pecel lele.
Menurut ahli tersebut, rumusan pasal-pasal ini kurang jelas dan ambigu. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, yang mengatur tentang tindakan melawan hukum yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan negara, dapat ditafsirkan secara luas. Contohnya, seorang penjual pecel lele yang berjualan di trotoar bisa dianggap melanggar hukum, memperkaya diri sendiri, dan merugikan keuangan negara karena merusak fasilitas publik.
Mantan pimpinan KPK juga menambahkan bahwa frasa "setiap orang" dalam Pasal 3 UU Tipikor dapat mengaburkan esensi dari tindak pidana korupsi itu sendiri. Tidak semua orang memiliki kekuasaan yang dapat disalahgunakan untuk melakukan korupsi.
Oleh karena itu, ahli hukum tersebut mengusulkan agar Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dihapuskan karena melanggar asas kepastian hukum. Ia juga merekomendasikan revisi Pasal 3 UU Tipikor dengan mengganti frasa "setiap orang" menjadi "Pegawai Negeri" dan "Penyelenggara Negara," serta menghilangkan frasa "yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara."
Ahli keuangan yang juga pernah menjabat sebagai pimpinan KPK turut memberikan pandangan. Ia mengungkapkan bahwa praktik korupsi yang paling banyak terjadi adalah suap, sementara aparat penegak hukum cenderung lebih fokus pada kasus korupsi yang merugikan keuangan negara. Hal ini dinilai kurang efektif dalam memberantas korupsi secara menyeluruh.