Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) kembali menuai kritik tajam setelah ditemukannya bahan mentah dan makanan ringan dalam menu yang disajikan. Hal ini memicu kekhawatiran mengenai pengawasan yang lemah dan mendesak evaluasi ulang terhadap program tersebut.
Laporan dari lapangan menunjukkan bahwa di beberapa wilayah, seperti Tangerang Selatan, Banten, menu MBG justru diisi dengan bahan mentah seperti beras, serta makanan ultra-proses dan kudapan tinggi gula. Foto-foto yang beredar di media sosial memperlihatkan paket MBG berisi biskuit, wafer, minuman sereal, susu UHT, telur puyuh, ikan asin, kacang goreng, jeruk, pisang, dan salak.
Pengelola dapur umum MBG berdalih bahwa "kreativitas" ini dilakukan karena sekolah sedang memasuki masa libur. Namun, Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan belum ada kebijakan resmi terkait hal tersebut, dan petunjuk teknisnya masih dalam tahap pembahasan.
Kritik Pedas dari Pengamat
Pengamat menilai bahwa persoalan ini mencerminkan lemahnya pengawasan. Mereka berpendapat bahwa pengelola dapur tidak bisa sepenuhnya disalahkan dan mendesak agar kebijakan ini dikaji ulang, bahkan dihentikan sementara.
Contohnya, sebuah sekolah dasar di Tangerang Selatan membagikan paket MBG kepada orang tua murid usai pengambilan rapor yang didominasi makanan kering seperti biskuit, susu cokelat kemasan, minuman sereal, snack kentang, dan kacang atom. Meskipun ada buah-buahan seperti jeruk dan pisang, proporsi makanan tidak sehat tetap mengkhawatirkan.
Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Ciputat Timur bahkan membagikan bahan mentah kepada ribuan siswa dari berbagai tingkatan sekolah. Alasan yang diberikan adalah agar bahan makanan dapat disimpan lebih lama selama masa libur sekolah.
Kurangnya Koordinasi dan Standar yang Jelas
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan mengklaim tidak ada koordinasi antara SPPG dengan pemerintah setempat terkait pendistribusian program MBG berbahan mentah. Hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi antar lembaga terkait.
Pendiri dan CEO CISDI, Diah Saminarsih, menekankan bahwa pemberian makanan mentah mengindikasikan adanya masalah dalam fungsi pengawasan. BGN sebagai lembaga nasional seharusnya menjalankan fungsi pengawasan dan kontrol dengan menjaga standar sesuai petunjuk teknis dan SOP yang dikeluarkan.
Selain itu, penelitian CISDI menemukan bahwa makanan ultra-proses mencakup 45% dari menu MBG. Diah mengingatkan bahwa makanan ultra-proses berbahaya karena kandungan gula, garam, dan lemak yang tidak terkontrol.
Irwan Aldrin dari Koalisi Kawal Pendidikan menilai kekisruhan ini menunjukkan "kekacauan berpikir" penyelenggara MBG. Menurutnya, visi program yang tidak jelas menyebabkan petunjuk teknis menjadi tidak lengkap dan ambigu.
Respons Badan Gizi Nasional
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menegaskan bahwa belum ada kebijakan resmi yang mengatur pembagian MBG berupa bahan mentah selama masa libur sekolah. Ia menjelaskan bahwa petunjuk teknis soal ini sedang disusun dengan mempertimbangkan berbagai aspek.
Desentralisasi Sebagai Solusi?
Dengan anggaran yang sangat besar untuk program MBG, Irwan Aldrin mendesak agar program ini dihentikan sementara dan dievaluasi. Ia mengusulkan agar kewenangan yang lebih besar diberikan kepada sekolah-sekolah untuk mengelola makan siang versi mereka sendiri.
Sekolah dapat membangun tradisi makan siang bersama dan mengintegrasikan persoalan makan bergizi gratis ke dalam kurikulum. Dengan edukasi yang tepat, anak-anak dapat tumbuh dengan lebih menghargai makanan yang mereka asup, sehingga dapat menghindari pemborosan makanan.
"Kalau caranya seperti ini, cara top down dari atas gitu semuanya, ya kacau balau begini. Enggak bisa pakai sistem sentralisasi begini," pungkas Irwan.