Isu bendera Aceh kembali mencuat seiring sengketa kepemilikan 4 pulau antara Aceh dan Sumatera Utara. Bendera bulan bintang berkibar dalam aksi damai di Kantor Gubernur Aceh, mendesak Kemendagri terkait status 4 pulau yang sempat menjadi wilayah Sumut.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menyatakan legalitas pengibaran bendera Aceh sedang dalam proses dan berharap segera mendapatkan izin. Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar, juga menyampaikan harapan masyarakat Aceh agar pemerintah pusat segera mengesahkan bendera tersebut sebagai simbol daerah.
Namun, pengibaran bendera Aceh secara resmi masih dilarang Kemendagri. Mengapa hal ini sulit, padahal aturannya tercantum dalam UU tentang Pemerintah Aceh dan Qanun Aceh?
Trauma Sejarah yang Belum Usai
Pakar politik lokal dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Titin Purwaningsih, berpendapat permasalahan ini berlarut karena trauma sejarah yang belum selesai. Qanun 3/2013 tentang Bendera Aceh seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman bagi NKRI. Dinamika hubungan pusat dan daerah juga menjadi faktor penghambat.
Urgensi Ruang Dialog Terbuka
Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy, Cusdiawan, berpendapat tuntutan pengibaran bendera Aceh seharusnya tidak menjadi masalah serius. Aceh memiliki latar belakang historis dengan dinamikanya sendiri dalam hubungannya dengan pemerintah pusat. Tuntutan bendera merupakan bagian dari upaya memperjuangkan politik rekognisi atau pengakuan hak-hak kultural.
Kepastian pengibaran bendera Aceh oleh pemerintah pusat justru dapat membuat masyarakat Aceh merasa dihargai sebagai bagian dari NKRI dan mempererat hubungan Aceh dengan pemerintah pusat. Perlu dibuka ruang dialog dan komunikasi yang lebih luas antara Aceh dan pemerintah pusat untuk membangun saling pengertian.
Bendera Aceh dan PP 77/2007
Pengamat politik dari Universitas Malikussaleh (Unmal), Teuku Kemal Fasya, mengingatkan keberadaan Peraturan Pemerintah 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Pasal 6 ayat 4 menyatakan desain logo dan bendera daerah tak boleh mempunyai persamaan dengan desain logo dan bendera organisasi gerakan separatis.
Teuku pun menyatakan keberadaan Qanun 3/2013 bukan berarti bendera bulan bintang itu telah disepakati sebagai bendera Aceh. Lambang di bendera itu menyerupai lambang GAM. Perihal ini menyulut permasalahan baru di Aceh, salah satunya dalam sebuah daerah yang menyatakan jika bendera itu disahkan, maka mereka meminta pisah dari Provinsi Aceh. Simbol bulan sabit di bendera tersebut jauh dari sejarah Aceh.