Krisis Politik Thailand Mengancam Pemerintahan Paetongtarn Shinawatra

Pemerintahan Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, menghadapi ujian berat setelah bocornya rekaman percakapan pribadinya dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen. Insiden yang terjadi pada 15 Juni 2025 ini, memicu gelombang kritik dan ketidakstabilan politik di Thailand.

Dalam rekaman berdurasi sekitar 17 menit itu, Paetongtarn terdengar akrab memanggil Hun Sen dengan sebutan "uncle" dan mengeluhkan tentang seorang komandan militer senior Thailand yang dianggapnya sebagai bagian dari "pihak berseberangan."

Ucapan ini dianggap melampaui batas sensitivitas politik dan militer di Thailand, negara yang masih dipengaruhi oleh kekuatan militer dan monarki. Konsekuensinya, Perdana Menteri termuda Thailand ini, yang baru menjabat sejak 16 Agustus 2024, menuai kecaman luas.

Efek domino pun terjadi di parlemen. Partai Bhumjaithai, partai konservatif dan mitra koalisi terbesar ketiga, memutuskan keluar dari koalisi pada 19 Juni 2025, dengan alasan utama isi rekaman tersebut. Keluarnya Bhumjaithai menyebabkan Partai Pheu Thai kehilangan mayoritas mutlak di parlemen yang memiliki 495 kursi. Mitra koalisi lainnya dilaporkan sedang mempertimbangkan posisi mereka, meningkatkan risiko keruntuhan total pemerintahan.

Oposisi, yang dipimpin oleh People’s Party (kelanjutan dari Move Forward), langsung menyerukan pembubaran parlemen dan pemilu baru. Paetongtarn sendiri telah menyampaikan permintaan maaf kepada publik pada 20 Juni 2025, mengklaim tidak mengetahui bahwa percakapan pribadinya direkam dan disebarluaskan.

Namun, permintaan maaf tersebut dianggap terlambat. Langkah Paetongtarn dianggap merendahkan militer, institusi yang menjadi pilar kekuasaan di Thailand. Situasi ini semakin diperburuk oleh kondisi ekonomi yang sulit. Program bantuan tunai langsung senilai US$14 miliar, yang menjadi andalan kampanyenya, dibekukan pada Mei 2025 karena kekhawatiran akan dampak tarif balasan dari Amerika Serikat, sehingga kepercayaan publik terhadap pemerintahannya menurun.

Paetongtarn adalah putri dari mantan PM Thaksin Shinawatra, tokoh politik berpengaruh namun kontroversial. Ayahnya berada di pengasingan politik sejak kudeta militer 2006 dan baru kembali ke Thailand pada Agustus 2023, langsung dipenjara atas kasus korupsi. Meskipun dibebaskan bersyarat pada Februari 2024, bayang-bayang politik Thaksin terus menghantui Paetongtarn.

Pada tahun 2011, bibi Paetongtarn, Yingluck Shinawatra, juga menjabat sebagai perdana menteri, tetapi digulingkan melalui putusan pengadilan yang diikuti kudeta militer pada 2014. Bagi banyak pengamat, krisis ini bukan hanya tentang skandal diplomatik, tetapi juga kelanjutan dari drama politik keluarga Shinawatra.

Beberapa skenario mungkin terjadi jika tekanan politik terus meningkat. Salah satunya adalah pemakzulan atau pengunduran diri Paetongtarn dan pengangkatan Anutin Charnvirakul, pemimpin Bhumjaithai, sebagai perdana menteri baru oleh parlemen. Alternatif lainnya adalah pemilu dini, meskipun hal ini berpotensi menguntungkan partai oposisi, terutama Move Forward yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilu 2023 namun gagal membentuk pemerintahan akibat veto senat.

Namun, analis dari Burapha University, Olarn Thinbangtieo, berpendapat bahwa upaya memaksa Paetongtarn mundur tanpa membubarkan parlemen adalah skenario yang lebih mungkin terjadi dalam waktu dekat, demi menjaga stabilitas institusional dan menghindari turbulensi baru di tengah krisis ekonomi. Jika krisis ini berlarut-larut dan eskalasi politik tidak dapat diredam, masa depan dinasti politik Shinawatra bisa berakhir lebih cepat dari yang diperkirakan.

Penahanan atau penggulingan pemimpin bukanlah hal baru dalam sejarah politik Thailand.

Scroll to Top