Ambisi Hidrogen Indonesia: Antara Janji Hijau dan Tantangan Nyata

Indonesia tengah berupaya memasuki era hidrogen sebagai sumber energi masa depan, sejalan dengan tren global. Hidrogen digadang-gadang sebagai "bahan bakar hijau" utama untuk mengurangi emisi di sektor industri, transportasi, dan energi. Namun, di balik optimisme ini, terdapat tantangan besar yang perlu diatasi agar ambisi ini tidak menjadi bumerang bagi lingkungan.

Saat ini, sebagian besar listrik di Indonesia masih dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bisakah ambisi hidrogen Indonesia benar-benar dikategorikan sebagai "hijau"?

Produksi hidrogen melalui elektrolisis membutuhkan pasokan listrik yang sangat besar. Jika listrik tersebut berasal dari bahan bakar fosil, hidrogen yang dihasilkan justru akan menjadi "hidrogen abu-abu" atau bahkan "hidrogen hitam" yang memiliki jejak karbon tinggi dan bertentangan dengan tujuan dekarbonisasi.

Negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Uni Eropa telah menginvestasikan miliaran dolar untuk mengembangkan hidrogen hijau. Indonesia pun berupaya mengejar peluang ekonomi melalui produksi dan ekspor hidrogen, dengan menjalin berbagai kesepakatan internasional. Akan tetapi, tanpa transisi energi yang paralel menuju sumber energi terbarukan, langkah ini berpotensi memperparah masalah lingkungan.

Salah satu risiko yang kurang disorot adalah potensi kebocoran hidrogen. Kebocoran hidrogen ke atmosfer dapat memperpanjang umur metana, gas rumah kaca yang jauh lebih kuat daripada karbon dioksida dalam menyebabkan pemanasan global. Tanpa infrastruktur yang kokoh dan sistem pemantauan yang ketat, kebocoran ini dapat meningkatkan emisi, alih-alih menguranginya.

Pengalaman negara-negara pelopor hidrogen seperti Jerman dan Jepang memberikan pelajaran berharga. Mereka menghadapi biaya infrastruktur yang tinggi, kebocoran hidrogen yang tidak terduga, dan lambatnya pertumbuhan energi terbarukan yang dibutuhkan untuk mendukung produksi hidrogen hijau. Indonesia harus belajar dari pengalaman ini agar terhindar dari investasi mahal yang berujung pada aset terbengkalai.

Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan produksi hidrogen secara desentralisasi, memanfaatkan energi terbarukan lokal seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi. Pulau-pulau terpencil yang saat ini bergantung pada diesel sangat ideal untuk menerapkan mikrogrid hidrogen berbasis energi terbarukan. Hal ini dapat mengurangi risiko kebocoran dan ketergantungan pada batu bara.

Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret, termasuk menetapkan standar hidrogen hijau yang ketat, menerapkan sistem regulasi dan pemantauan yang komprehensif, dan meningkatkan kapasitas energi terbarukan secara masif.

Masa depan hidrogen Indonesia bergantung pada kemampuan bangsa ini untuk mewujudkan visi energi berkelanjutan yang cerdas dan bertanggung jawab. Kita harus memastikan bahwa hidrogen yang dihasilkan bukan sekadar "label hijau", melainkan transformasi nyata menuju energi yang benar-benar berkelanjutan.

Scroll to Top